Langsung ke konten utama

Moe Naik Kereta Prameks


   
 
Moe adalah anak yang bersemangat. Setiap hari Senin, Rabu dan Jumat dia bersama ibunya berangkat ke sekolah berkereta. Jarak rumahnya dengan sekolah kira-kira tigapuluh delapan kilometer jauhnya. Meskipun Moe harus menunggu empat puluh menit perjalanan, dia tidak merasa bosan karena menurut Moe bersekolah dengan naik kereta adalah petualangan.

Moe belajar mengantri untuk bisa memperoleh tiket. Moe belajar untuk memberi kesempatan penumpang lain turun terlebih dahulu sebelum dia mulai naik. Moe pun mengerti bahwa ada saatnya dia harus memberikan bangkunya kepada penumpang lain yang mendapat prioritas duduk.  Seperti kakek nenek, seseorang yang terluka, ibu hamil, atau ibu yang sedang menggendong adek bayi. Berkereta membuat Moe belajar untuk menghormati kebutuhan orang lain.

Di dalam kereta, Moe mengamati ada penumpang yang bertubuh besar, ada yang bertubuh sedang, ada juga yang kecil. Ada penumpang yang berambut ikal, keriting, lurus, bahkan ada juga yang pirang. Warna kulitnya juga tidak sama. Ada yang gelap, putih, kuning, dan coklat. Aktivitasnya pun bermacam-macam, ada penumpang yang melamun, ada yang sedang membaca, ada yang mendengarkan musik, dan ada juga yang asyik mengobrol. Walaupun para penumpang beragam, namun semua saling bersikap baik, dan saling menjaga.

Moe sangat senang berkereta, bertemu banyak orang dan berpetualang di dalamnya.

 Based on our experiences every morning, when Vadin is going to school by Train to Yogya..:D
(tulisan ini menjadi bahan menulis saya untuk dikirimkan ke salah satu pemilihan penulis untuk workshop penulisan cerita anak, tapi gagal..^^ sepertinya saya harus lebih bersemangat lagi ke depannya untuk menggali ide dan menuliskannya. In the end, saya posting saja di blog pribadi agar karya ini tidak hilang terbang menjadi serpihan debu..;D )
 
salam,
semilir

Komentar

Postingan populer dari blog ini

dongeng Si Gajah dan Si Badak

dongeng Si Gajah dan Si Badak April 14th, 2008 Suatu hari di sebuah hutan belantara tampaklah seekor gajah yang berbadan besar dengan belalai panjangnya sedang bercengkrama dengan seekor badak. Si Badak terpesona melihat dua gading gajah yang membuat Si Gajah makin terlihat gagah. Kemudian Si Badak bertanya " Jah…Gajah…kok kamu bisa punya sepasang cula yang hebat begitu bagaimana caranya tho?…kamu terlihat semakin gagah saja". Lantas dengan bangga Si Gajah pun bercerita tentang puasa tidak makan tidak minumnya selama 80 hari. Berkat puasa itulah Si Gajah bisa mendapatkan cula yang hebat seperti yang Badak lihat sekarang. Akhirnya karena Si Badak juga ingin tampil gagah, dia pun mulai menjalani puasa 80 harinya seperti yang Si Gajah lakukan. Seminggu kemudian…… "Ahhh…enteeeeeng…." Badak sesumbar. Dua minggu berikutnya…… Si BAdak mulai sedikit lemas, dia masih bertahan meski rasa lapar, rasa haus kian menghantuinya. Dia iri melih

Sebuah esai tentang kebudayaan bersifat simbolik

Di sebuah stasiun TV Swasta terlihat ada sebuah penayangan mengenai kehidupan sebuah suku yang masih kental dengan keprimitifannya. Sebut saja salah satu suku di Afrika. Tampak di sana sekelompok manusia berpakaian seadanya, sedang duduk mengelilingi api unggun. Kepala suku mereka sedang menceritakan kepada anggota kelompoknya yang lain, menceritakan mengenai sebuah batu yang tiba-tiba saja terlempar dari arah gunung berkapur hingga hampir membuatnya celaka, hingga detik itu juga dia, selaku kepala suku di sana menyatakan bahwa benda tersebut adalah ‘benda jahat atau benda setan’. Simbol tersebut dia gunakan sebagai bentuk kekhawatirannya terhadap anggota kelompoknya yang lain, sehingga mendorong agar anggota yang lain selalu waspada. Bentuk pengungkapan itu membudaya dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Hingga kemudian manusia menjadi lebih pandai dan cerdas hingga benda yang disebut-sebut sebagai benda jahat itu hanyalah sebuah bongkahan batu yang secara tidak sengaja terlempa

SANGIRA

Sangira Sang, Hujan mau datang lagi. Sudikah kiranya dirimu antarku pulang? Sang, kukecilkan pakaian-pakaian longgarmu, ambillah, sudah kutaruh di almari. Aku mau pulang, Sang. Aku tidak bisa berlama-lama lagi di sini. Di tempat ini. Aku takut, Sang. Tempat ini sudah sangat berbeda, kita tidak bisa lagi main-main dengan Hujan seperti dulu. Masih ingatkah engkau pada bunyi kecipak-cipak air yang main lompat di kubangan lumpur, Sang? Aku rindu. Aku mau pulang, Sang…. Seperti memang sudah berjodoh, aku bertemu lagi dengan laki-laki berkemeja garis-garis biru yang kemarin aku temui di sebuah toko kue. Dia tengah kebingungan mencari sebuah kue ulang tahun yang katanya untuk seseorang yang spesial. Untuk pacarnya kurasa. Tapi siapapun perempuan itu sudah pasti dia beruntung sekali. Bagaimana tidak, laki-laki itu terlihat begitu sangat perhatian, peduli, dan rasa sayang yang diperlihatkan pada muka bingungnya ketika mencari kue ulang tahun yang pas untuk seseorang istimewanya itu membuatk