Stagnan!
Aku tidak tahu lagi harus menulis kata-kata seperti apa. Lembaran di hadapanku masih sama kosong dengan lembaran yang kau miliki. Akhirnya karena kita sama-sama penat, kita pandangi saja lembaran kosong itu sambil menyeruput teh yang pun mendingin.
Lembaran kosong itu membuat kita berpikir, membuat kita saling kerutkan dahi. Kita berpandangan, menghela napas, membuat debu-debu terbang menjauh.
Kamu kehabisan ide.
Begitu pula aku.
Kau mulai hentikan tarian jemarimu di atas kibor. Kau duduk termangu, sambil menyalakan pemantikmu. Akh, kamu mulai lagi bergumul dengan kepulan asap rokokmu. Kau pergi untuk membuka pintu teras belakang, kau butuh asupan udara segar, Sayang.
^ ^ ^ ^ ^ ^ ^
Kita ini selalu bersama. Kita adalah bagian dari ujung dan pangkal yang bertemu, kita adalah dua jarum jam yang tak akan berarti bila tidak disatukan dalam kotak kaca-angka yang sama. Kita seirama, kita seia, kita satu nada. Tak ada kau berarti bersiaplah untuk sumbang. Hidupku dan hidupmu.
Pasangan yang sempurna. Pasangan bodoh yang sempurna. Sayangnya, belum ada sebuah penghargaan yang diperuntukkan pasangan bodoh seperti kita. Sempurna karena bodoh. Mungkin kebodohan sempurna yang telah kita lakukan membuat kita terpisah sementara. Kesumbangan yang sementara.
Tak apa, Sayang. Kita hanya perlu bersabar.
Dan sekarang, aku terjebak di sini, di sebuah ruangan berukuran tidak luas dengan kesendirianku. Tidak ada asap rokok, tidak ada alcohol, dan yang paling buruk adalah, tidak ada engkau, di sini, bersamaku.
Aku mati suri, Sayang. Dalam jeruji besi.
Stagnansi kita adalah awal dari sebuah bencana. Mampat ide. Kau pun pergi menepi, mencari sebuah dunia angan-angan.
Sayang, kenapa kau tidak mengajakku turut serta?
Aku bergumam, kesal. Melihatmu terkulai tak berdaya hadapi lembaran-lembaran kosong. Aku tak sabar melihatmu menjentikkan jari atau mengepalkan genggamanmu dan memukulkannya ke udara. Aku ini pencemburu, Sayang. Aku tak suka kau menghabiskan waktumu lebih banyak untuk lembaran-lembaran yang masih saja kosong itu. Kau membutuhkanku untuk memberi ornamen garis-titik di atasnya. Kita dicipta bukan untuk saling meniadakan, tapi untuk menghasilkan nada selaras, Sayang. Tidakkah kau mengerti?
Aku mati suri, Sayang. Dalam jeruji besi.
Kenapa kau tidak segera bangun dari tidur panjangmu? Aku menunggu, Sayang. Dan kita akan memainkan lagi naskah-naskah buatan kita. Karya-karya besar kita. Seperti yang sudah-sudah. Seperti yang kita lakukan untuk menghabiskan waktu bersama, untuk meleburkan mimpi dan impian kita dalam sebuah penciptaan.
Aku tidak mengerti Sayang, kenapa lakon yang kita mainkan ini tidak menyegerakanmu untuk kembali di sisiku malam ini, memeluk tubuhku dan tidak melepaskan hingga pagi jelang. Seperti yang biasa kau lakukan, karena kau takut aku akan meninggalkanmu.
Aku tidak akan meninggalkanmu, Sayang. Kau tahu benar itu. Betapa cintaku terkadang terlalu berlebih untukmu. Tidakkah kau juga mengerti? Sekarang bangunlah. Aku tidak ingin di sini sendiri. Tidak malam ini, tidak malam-malam nanti.
Aku mati suri, Sayang. Dalam jeruji besi.
Lakon semalam, lakon dari investasi ide kita yang sekian lama bertumpuk tanpa nyawa. Membawa pada sebuah babak besar. Adegan ketidakpercayaan, adegan kecemburuan. Kau ciptakan sebuah sandiwara yang begitu pas untuk kumainkan. Seperti yang sudah-sudah. Kau memang pintar membuat karya dan memberiku peran, Sayang. Cerita berakhir ketika aku mulai menyadari banyak darah merembes keluar dari perutmu. Kau merintih kesakitan. Bagian dari aktingmukah, Sayang?
Aku mulai bingung. Darahmu tampak nyata, Sayang. Aku tidak tahu harus berbuat apa, sampai kau bilang “Lanjutkan dialog!!!” Aku berkenyit, tubuhku kaku. Dingin mulai merayap, baru kutahu itu dingin tubuhmu, bukan milikku. “Lanjutkan dialog!!!”, katamu lagi. Obsesimu, obsesiku, obsesi kita berdua hanya tinggal selangkah. Dan dunia akan mengakui kehebatan kita. Sang Maestro. Karya kita akan dikenang sepanjang orang-orang masih melahirkan generasi-generasi lanjutan. Ide kita, Sayang!!! Kau buat karya ini tak usang dimakan zaman.
Iya, karya ini sempurna, Sayang. Karya yang begitu nyata. Tapi kenapa napasmu terengah? Kau harusnya bersorak-sorai melihat penciptaanmu, Sayang. Mahakaryamu! Kita membuat semuanya tampak nyata.
^^^^^^^
Kau bilang, kau akan baik-baik saja!!! Kau bilang, ini bukan prosa yang berbahaya. Kau bilang, karya ini merupakan bukti kesungguhan cintamu, cinta kita!!! Aku bingung, Sayang!! Aku bingung!! Aku melihatmu terbujur kaku, saat kuucapkan dialog terakhir tadi malam, seperti yang kau pinta. Aku berhasil menyelesaikan karya stagnansi kita. Tapi kenapa selanjutnya kau diam saja? Apa yang musti kulakukan untuk buatmu bicara?
Kucium bibirmu berkali-kali, agar kau bangun. Aku tahu kau bercanda, Sayang. Ini adalah salah satu adegan improvisasi yang tengah kau lakukan, kan? Kau pernah bilang, ingin membuat cerita Putri Tidur dalam versi terbalik. Buka matamu, Sayang. Hari sudah hampir pagi. Aku memelukmu dengan erat. Sekarang aku yang takut kalau kau pergi meninggalkanku. Kau tidak akan pergi kemana-mana kan, Sayang?
Malam berganti, aku masih tetap terduduk hening, memelukmu. Hanya pemutar dari alat perekam yang masih tunjukkan tanda-tanda kehidupan. Yang masih saja gaungkan suara berisik, dalam kediaman kita.
Kenapa kau bohongi aku, Sayang? Kenapa kau tak ajak aku turut serta dalam kebahagiaanmu saat ini? Kenapa, Sayang?
Aku terduduk lemas, bajuku penuh dengan darahmu yang lambat-laun mengering, tanganku koma. Masih tetap dengan sebilah pisau yang tergenggam kuat.
Apa ini karya hebat yang kita cipta, Sayang? Sudah berhasilkah kita membuatnya?
^^^^^^
Stagnansi kita adalah awal dari sebuah bencana. Mampat ide. Kau buat nada-nada harmoni kita menjadi sumbang, Sayang. Ya, kesumbangan sementara. Kita ini selaras, tidak terpisahkan.
Kapan kau akan membuka mata, Sayang? Kapan kita bisa menikmati sinar-sinar pagi yang berkilauan berdua, untuk rayakan kejeniusan kita? Sang Maestro.
Aku menunggumu dengan mati suri, Sayang. Dalam jeruji besi.
Sampai kulihat kau nyata dan kembali dalam pelukanku lagi.
Semilir, 13 Mei 2010
Aku tidak tahu lagi harus menulis kata-kata seperti apa. Lembaran di hadapanku masih sama kosong dengan lembaran yang kau miliki. Akhirnya karena kita sama-sama penat, kita pandangi saja lembaran kosong itu sambil menyeruput teh yang pun mendingin.
Lembaran kosong itu membuat kita berpikir, membuat kita saling kerutkan dahi. Kita berpandangan, menghela napas, membuat debu-debu terbang menjauh.
Kamu kehabisan ide.
Begitu pula aku.
Kau mulai hentikan tarian jemarimu di atas kibor. Kau duduk termangu, sambil menyalakan pemantikmu. Akh, kamu mulai lagi bergumul dengan kepulan asap rokokmu. Kau pergi untuk membuka pintu teras belakang, kau butuh asupan udara segar, Sayang.
^ ^ ^ ^ ^ ^ ^
Kita ini selalu bersama. Kita adalah bagian dari ujung dan pangkal yang bertemu, kita adalah dua jarum jam yang tak akan berarti bila tidak disatukan dalam kotak kaca-angka yang sama. Kita seirama, kita seia, kita satu nada. Tak ada kau berarti bersiaplah untuk sumbang. Hidupku dan hidupmu.
Pasangan yang sempurna. Pasangan bodoh yang sempurna. Sayangnya, belum ada sebuah penghargaan yang diperuntukkan pasangan bodoh seperti kita. Sempurna karena bodoh. Mungkin kebodohan sempurna yang telah kita lakukan membuat kita terpisah sementara. Kesumbangan yang sementara.
Tak apa, Sayang. Kita hanya perlu bersabar.
Dan sekarang, aku terjebak di sini, di sebuah ruangan berukuran tidak luas dengan kesendirianku. Tidak ada asap rokok, tidak ada alcohol, dan yang paling buruk adalah, tidak ada engkau, di sini, bersamaku.
Aku mati suri, Sayang. Dalam jeruji besi.
Stagnansi kita adalah awal dari sebuah bencana. Mampat ide. Kau pun pergi menepi, mencari sebuah dunia angan-angan.
Sayang, kenapa kau tidak mengajakku turut serta?
Aku bergumam, kesal. Melihatmu terkulai tak berdaya hadapi lembaran-lembaran kosong. Aku tak sabar melihatmu menjentikkan jari atau mengepalkan genggamanmu dan memukulkannya ke udara. Aku ini pencemburu, Sayang. Aku tak suka kau menghabiskan waktumu lebih banyak untuk lembaran-lembaran yang masih saja kosong itu. Kau membutuhkanku untuk memberi ornamen garis-titik di atasnya. Kita dicipta bukan untuk saling meniadakan, tapi untuk menghasilkan nada selaras, Sayang. Tidakkah kau mengerti?
Aku mati suri, Sayang. Dalam jeruji besi.
Kenapa kau tidak segera bangun dari tidur panjangmu? Aku menunggu, Sayang. Dan kita akan memainkan lagi naskah-naskah buatan kita. Karya-karya besar kita. Seperti yang sudah-sudah. Seperti yang kita lakukan untuk menghabiskan waktu bersama, untuk meleburkan mimpi dan impian kita dalam sebuah penciptaan.
Aku tidak mengerti Sayang, kenapa lakon yang kita mainkan ini tidak menyegerakanmu untuk kembali di sisiku malam ini, memeluk tubuhku dan tidak melepaskan hingga pagi jelang. Seperti yang biasa kau lakukan, karena kau takut aku akan meninggalkanmu.
Aku tidak akan meninggalkanmu, Sayang. Kau tahu benar itu. Betapa cintaku terkadang terlalu berlebih untukmu. Tidakkah kau juga mengerti? Sekarang bangunlah. Aku tidak ingin di sini sendiri. Tidak malam ini, tidak malam-malam nanti.
Aku mati suri, Sayang. Dalam jeruji besi.
Lakon semalam, lakon dari investasi ide kita yang sekian lama bertumpuk tanpa nyawa. Membawa pada sebuah babak besar. Adegan ketidakpercayaan, adegan kecemburuan. Kau ciptakan sebuah sandiwara yang begitu pas untuk kumainkan. Seperti yang sudah-sudah. Kau memang pintar membuat karya dan memberiku peran, Sayang. Cerita berakhir ketika aku mulai menyadari banyak darah merembes keluar dari perutmu. Kau merintih kesakitan. Bagian dari aktingmukah, Sayang?
Aku mulai bingung. Darahmu tampak nyata, Sayang. Aku tidak tahu harus berbuat apa, sampai kau bilang “Lanjutkan dialog!!!” Aku berkenyit, tubuhku kaku. Dingin mulai merayap, baru kutahu itu dingin tubuhmu, bukan milikku. “Lanjutkan dialog!!!”, katamu lagi. Obsesimu, obsesiku, obsesi kita berdua hanya tinggal selangkah. Dan dunia akan mengakui kehebatan kita. Sang Maestro. Karya kita akan dikenang sepanjang orang-orang masih melahirkan generasi-generasi lanjutan. Ide kita, Sayang!!! Kau buat karya ini tak usang dimakan zaman.
Iya, karya ini sempurna, Sayang. Karya yang begitu nyata. Tapi kenapa napasmu terengah? Kau harusnya bersorak-sorai melihat penciptaanmu, Sayang. Mahakaryamu! Kita membuat semuanya tampak nyata.
^^^^^^^
Kau bilang, kau akan baik-baik saja!!! Kau bilang, ini bukan prosa yang berbahaya. Kau bilang, karya ini merupakan bukti kesungguhan cintamu, cinta kita!!! Aku bingung, Sayang!! Aku bingung!! Aku melihatmu terbujur kaku, saat kuucapkan dialog terakhir tadi malam, seperti yang kau pinta. Aku berhasil menyelesaikan karya stagnansi kita. Tapi kenapa selanjutnya kau diam saja? Apa yang musti kulakukan untuk buatmu bicara?
Kucium bibirmu berkali-kali, agar kau bangun. Aku tahu kau bercanda, Sayang. Ini adalah salah satu adegan improvisasi yang tengah kau lakukan, kan? Kau pernah bilang, ingin membuat cerita Putri Tidur dalam versi terbalik. Buka matamu, Sayang. Hari sudah hampir pagi. Aku memelukmu dengan erat. Sekarang aku yang takut kalau kau pergi meninggalkanku. Kau tidak akan pergi kemana-mana kan, Sayang?
Malam berganti, aku masih tetap terduduk hening, memelukmu. Hanya pemutar dari alat perekam yang masih tunjukkan tanda-tanda kehidupan. Yang masih saja gaungkan suara berisik, dalam kediaman kita.
Kenapa kau bohongi aku, Sayang? Kenapa kau tak ajak aku turut serta dalam kebahagiaanmu saat ini? Kenapa, Sayang?
Aku terduduk lemas, bajuku penuh dengan darahmu yang lambat-laun mengering, tanganku koma. Masih tetap dengan sebilah pisau yang tergenggam kuat.
Apa ini karya hebat yang kita cipta, Sayang? Sudah berhasilkah kita membuatnya?
^^^^^^
Stagnansi kita adalah awal dari sebuah bencana. Mampat ide. Kau buat nada-nada harmoni kita menjadi sumbang, Sayang. Ya, kesumbangan sementara. Kita ini selaras, tidak terpisahkan.
Kapan kau akan membuka mata, Sayang? Kapan kita bisa menikmati sinar-sinar pagi yang berkilauan berdua, untuk rayakan kejeniusan kita? Sang Maestro.
Aku menunggumu dengan mati suri, Sayang. Dalam jeruji besi.
Sampai kulihat kau nyata dan kembali dalam pelukanku lagi.
Semilir, 13 Mei 2010
Komentar
Posting Komentar