Langsung ke konten utama

Langkahkan Kakimu dan Luaskan Pandanganmu


   
Ada banyak kota di dunia ini yang bisa saja saya tulis dan saya rangkai untuk kemudian menjadi tokoh utama dalam tulisan ini. Sayangnya, ternyata urusan memilih kota impian itu tidak lah semudah seperti memilih baju mana yang hendak dipakai di dalam tumpukan baju yang belum disetrika. Njlimet saya tuh orangnya… :D

Eropa, US, Canada, Oz, New Zealand, Egyptian, Southern Asia, hingga East Asia macam Seoul, Japan, negara dan kota yang nge-hits belakangan karena faktor serial drama-dramanya  juga tak membuat saya lantas menisbahkan mereka untuk menjadi salah satu kota yang ingin saya kunjungi. Ya seneng juga melihat beberapa teman sudah banyak yang berhasil menapaki diri ke sana, entah karena pekerjaan, karena sekolah, karena usaha kerasnya sedari dulu, karena memenangkan undian, atau yang karena dapat bonus dari usahanya mengejar poin, bahkan ada juga yang karena pasangannya horang tajir melintir, akhirnya kesempatannya untuk bisa bepergian keliling Indonesia bahkan ke luar negeri dapat terwujud. Saya membayangkan pastilah kita hepi banget ya bisa berada di sebuah kota yang sudah dari dulu kita idam-idamkan untuk didatangi. Dan bagaimanapun jalan yang ditempuh selama itu tidak untuk sengaja membuat yang lain jadi sakit hati, atau membuat orang lain iri, saya kira ya sak bahagiamu wez. Gitu aja. Soalnya saya pun juga pasti hepi engga ketulungan kalo memang ada yang ngajakin plesiran ke luar negeri, secara cuma-cuma lagi. Tapi sekarang ini pergi ke luar negeri agaknya bukan lagi menjadi sesuatu yang spesial dibandingkan dulu. Kini, rute penerbangan sudah tersedia dalam banyak jalur, agen-agen wisata juga banyak bermunculan, bahkan sudah banyak yang memudahkan kita untuk mendapatkan kesempatan promo tiket pesawat, promo hotel, dan seterusnya.  Negara-negara tertentu bahkan sudah menerapkan bebas visa untuk kunjungan dari negara-negara tertentu. Lhaa..asik banget kan ya. Beasiswa sekolah ke luar negeri juga makin banyak yang ditawarkan. Lomba-lomba penulisan juga saya lihat mulai banyak bermunculan yang memberi iming-iming hadiah jalan-jalan ke Eropa. Seru ya.

Sampai saya ini bingung dan ndak ngerti saya itu punya kota impian yang ingin dikunjungi atau engga. Ya biasa aja gitu melihatnya. Pun misal bisa jalan ke Eropa ya ayo, kalo sekarang dana plesirannya cukup untuk jalan ke Pantai Pailus di Jepara, atau ke Bali ya itu juga sama menariknya. Karena bukan tempatnya dimana yang saya cari, melainkan apa yang bisa saya pelajari dari tempat yang akan saya kunjungi. Saya bukan tipikal, (again) maafkan keanehan saya, yang begitu sudah bisa menuju ke kota yang saya inginkan, saya lantas mengabadikannya ke dalam kamera lalu pasang status dan berbagi foto-foto. Saya cenderung lebih suka melakukan perjalanan sendiri. Ya posting untuk bukti eksistensi boleh sih, ngga dilarang juga, sah-sah saja, menyebarkan kebahagiaan itu boleh asal bukan diniati karena rasa ingin pamer. :D 

Rada nyinyir ya, iya maafkaan, hahahha. Tulisan ini bukan tanpa alasan dibuat lho.

Welcome to the narcissism era, people!

Sekarang adalah zaman dimana semua orang bebas “pamer” apa saja, kapan saja, dan dengan tujuan apa saja. Iya atau betul? Nah rasa pamer ini lho yang membuat saya jadi ngitung kancing tiap kali mau posting sesuatu, dalam hal apapun. Sering membuat saya maju mundur cantik apabila ingin berbagi keadaan terbaru saya. Ya, terutama kalo itu berkaitan dengan apa yang sedang kita alami dan kita lakukan ya. Antara berbagi dan pamer itu batasnya hampir mirip seperti satu helai rambut, pemirsah. Ga kelihatan. Tapi bikin nyandu. ;P

Banyak cerita tentang perjalanan yang menampar saya. Yang membuat saya menjadi semakin hati-hati dengan setiap perilaku, tutur kata, bahkan tulisan. Membuat saya selalu meredam sejenak ketika hendak berbagi sesuatu ke orang lain. Sik, ini niatku opo? Berbagikah? Pamerkah? Iklankah?

Saya ada cerita, tentang seorang ibu, beliau ini punya hobi traveling. Ketika saya singgah ke rumahnya, saya engga pernah menyangka hampir banyak kota di Indonesia  sudah beliau kunjungi. Beliau ibu rumah tangga biasa. Tidak memiliki posisi jabatan baik dalam pemerintahan ataupun perusahaan. Tapi beliau ini ya biasa saja, tidak hobi posting-posting status di linimasa. Saya tahu beliau sering bepergian juga dari anaknya. Tidak pernah gembar-gembor mau pergi kemana ke orang-orang, tau-tau besok harinya udah keliatan aja di rumah menyapu halaman depan. Pernah suatu hari saya tanya, “Ibu, kok mboten pernah maringi pirsa menawi badhe tindakan? (ibu, kok engga pernah memberi tahu kalau mau bepergian?-red)

Woalah, ngge opo tho, Nduk. Arepku lunga ya buat refreshing kok. Ngga perlu tangga-tanggane ngerti, kecuali aku isoh mbiayai mereka  buat plesiran bareng. Soale sakno kae tonggoku sing omahe pojokan, jane dewekke yo seneng dolan, amargi kudu ngopeni bojone sing lara-laranen, kan yo kudu ngopenim lan nunggoni. Nek koyo Ibu ngene kan uwis ditinggal suwargi Bapak ,anak-anak yo wez podho gedhe, ibu ora nduwe tanggungan abot. Tapi yo ngga perlu tangga-tanggane ngerti, njaga ben kabeh podho tentreme.”  

(woalah buat apa tho, Nak. Keinginan ibu bepergian buat refreshing kok. Tetangga-tetangga ya engga perlu dikasih tau, kecuali Ibu bisa membiayai mereka semua untuk jalan-jalan bareng. Soalnya, kasihan itu tetangga ibu yang rumahnya di pojok, dia sebetulnya juga suka jalan-jalan, tapi karena suaminya sakit-sakitan, kan ya harus menjaga dan menunggu. Kalo kayak Ibu gini kan sudah tidak punya tanggungan, bapak sudah almarhum, anak-anak sudah beranjak besar. Tapi kan ya engga harus tetangga-tetangga tau, biar saling menjaga ketentraman-red)

Jleb!

Lain lagi cerita tentang bapak S, beliau ini hobi traveling ke Mekkah untuk Umroh entah sudah ke-berapa kalinya, saking udah sering bolak-balik ke sana. Naik Haji juga sudah beberapa kali.  Katanya memang Mekkah menjadi kota impian yang ingin beliau kunjungi ( sampai kayaknya hampir tiap plesiran beliau dan keluarganya berkunjung ke sana). Hanya saja, di balik layar, saya kurang tahu juga apakah beliau mendengar kasak-kusuk orang-orang sekitarnya yang pengen banget bisa naik haji sekali saja tapi ya ndak mampu. Kelihatannya sih engga ya, anggap saja memang mungkin beliau tidak tahu. Saking mirisnya kalau saya dicurhatin, yang berakhir dengan ujung-ujungnya ngrasani (ngomongin orang lain-red), pas si bapak S ini umroh lagi sementara ada lho tetangganya yang dililit hutang sebesar biaya dia pergi umroh dengan keluarganya itu , sampai-sampai bingung besok bisa makan apa engga. Rasanya kok gimana gitu ya?

Semacam kita posting status ngopi di starbucks, tapi kebetulan yang liat postingan kita sedang kantong kering, dan minum kopinya merk kapal api sambil dia ngedumel ngeliat postingan kita. Duh!

Ato semacam kita posting makan indomie kuah atau indomie goreng, sementara yang baca status kita sedang hamil, ngidam mie instan tapi sedang tidak dianjurkan mencicip. L

Kebetulan entah bagaimana ceritanya, begitulah realitas kehidupan di sekeliling saya yang harus saya hadapi. Saya belajar untuk tidak memikirkan diri saya sendiri meski terkadang hasrat itu juga beberapa kali mampir. Saya belajar untuk berpuasa. Belajar untuk lebih mengenali lingkungan saya sekitar. Jadi kemanapun kaki ini melangkah, pandangan saya selalu terhenti pada simbok-simbok sayur yang bisa terbahak bahagia dalam pagi itu, ketika melayani pelanggannya. Terpaku pada para kuli bangunan yang memanggul sak-sak semen, kejar setoran untuk bisa membelikan susu anaknya di rumah. Terharu melihat anak-anak berangkat sekolah beriringan naik sepeda butut dengan riang. Sumringah melihat anak-anak bermain riang di kali. Jadi, sangat sulit buat saya untuk menuliskan kota impian, karena ada banyak pelajaran yang mengajarkan saya bahwa rumah adalah tempat sebaik-baiknya untuk pulang.

Di kota manapun kaki saya melangkah, dimanapun saya berada, saya tetap bahagia seperti adanya, saya tetap mencari kilauan sinar matahari di balik rimbunnya dedaunan, saya tetap akan terpesona oleh bisik lembutnya angin yang menyibak untaian rambut saya, dan tetap akan menjadikan sayur lodeh buatan alm. Ibu sebagai masakan istimewa.

Salam damai,

Semilir

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

dongeng Si Gajah dan Si Badak

dongeng Si Gajah dan Si Badak April 14th, 2008 Suatu hari di sebuah hutan belantara tampaklah seekor gajah yang berbadan besar dengan belalai panjangnya sedang bercengkrama dengan seekor badak. Si Badak terpesona melihat dua gading gajah yang membuat Si Gajah makin terlihat gagah. Kemudian Si Badak bertanya " Jah…Gajah…kok kamu bisa punya sepasang cula yang hebat begitu bagaimana caranya tho?…kamu terlihat semakin gagah saja". Lantas dengan bangga Si Gajah pun bercerita tentang puasa tidak makan tidak minumnya selama 80 hari. Berkat puasa itulah Si Gajah bisa mendapatkan cula yang hebat seperti yang Badak lihat sekarang. Akhirnya karena Si Badak juga ingin tampil gagah, dia pun mulai menjalani puasa 80 harinya seperti yang Si Gajah lakukan. Seminggu kemudian…… "Ahhh…enteeeeeng…." Badak sesumbar. Dua minggu berikutnya…… Si BAdak mulai sedikit lemas, dia masih bertahan meski rasa lapar, rasa haus kian menghantuinya. Dia iri melih

Sebuah esai tentang kebudayaan bersifat simbolik

Di sebuah stasiun TV Swasta terlihat ada sebuah penayangan mengenai kehidupan sebuah suku yang masih kental dengan keprimitifannya. Sebut saja salah satu suku di Afrika. Tampak di sana sekelompok manusia berpakaian seadanya, sedang duduk mengelilingi api unggun. Kepala suku mereka sedang menceritakan kepada anggota kelompoknya yang lain, menceritakan mengenai sebuah batu yang tiba-tiba saja terlempar dari arah gunung berkapur hingga hampir membuatnya celaka, hingga detik itu juga dia, selaku kepala suku di sana menyatakan bahwa benda tersebut adalah ‘benda jahat atau benda setan’. Simbol tersebut dia gunakan sebagai bentuk kekhawatirannya terhadap anggota kelompoknya yang lain, sehingga mendorong agar anggota yang lain selalu waspada. Bentuk pengungkapan itu membudaya dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Hingga kemudian manusia menjadi lebih pandai dan cerdas hingga benda yang disebut-sebut sebagai benda jahat itu hanyalah sebuah bongkahan batu yang secara tidak sengaja terlempa