Langsung ke konten utama

REFLEKSI


   
Barangkali setiap kelahiran itu adalah penantian, adalah harapan. Atau barangkali kelahiran itu melelahkan karena mungkin kita selalu dibuat lupa akan sejatinya diri dan harus menunggu hingga saat kesadaran itu datang, membuka batin kita untuk tersedu kemudian. Atau menyadarkan bahwa kita itu sedemikian kecil di antara partikel-partikel lain di semesta raya ini. Kita mungkin kecil, kita mungkin tak lebih dari debu, tapi kita juga bisa menjadi berarti. Mencari arti hidup. Mungkin itulah kelahiran. Pencarian.

Bertambah usia tak lantas menjadikan manusia itu makin dewasa, makin mengerti dan makin paham. Banyak juga yang makin tua makin pelupa, Lupa bahwa dia dulu juga melalui proses menjadi bayi yang sedang belajar melihat, belajar mendengar, dan belajar berbicara. Lupa bahwa kita dulu berawal dari raga yang tidak bisa melakukan apa-apa selain menangis dan sesekali mengoceh. Insting seseorang ketika menjadi bayi mungkin lebih tajam daripada kala mereka beranjak besar. Seorang bayi begitu amat polos dan jujur. Pertambahan usia kadang pun bisa menjadi mimpi buruk. Bisa menjadi boomerang karena kita tidak siap. Karena tabur tuai itu pasti. Karena lebih dari apapun, kehidupan itu hanya sekejap mata. Pencarian teruslah dilakukan setiap harinya, sepanjang usia. Beruntunglah bagi siapapun yang mampu menemukan sebelum masa pencarian itu berakhir.

Cita-cita saya sederhana, menemukan. Karena pencarian saya belumlah usai.
Karena inti dari kehidupan adalah proses mencari. Pun resiko paling buruk adalah dilahirkan kembali. Dan dibuat lupa lagi.  Melebur ke dalam proses itu menjadi hal yang luar biasa. Kita bisa belajar dari air, dari akar, dari udara bahkan kita bisa belajar dari burung-burung, dan ikan. Alam semesta ini tidaklah berproses tanpa keteraturan. Simaklah. Dengarkanlah. Alam ini mengajak kita duduk berdua dan bercengkrama. Rasa akan hadir sebagai jembatan. Jembatan agar kita kembali mengingat bahwa kita pernah menjadi bayi dan anak-anak. Mengingat bahwa kita ini serupa pohon yang menjulang tinggi, dan masih berada di petak yang sama.
 
sebuah refleksi di saat usia bertambah lagi sehari.
semilir, 7 Maret 2018

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

dongeng Si Gajah dan Si Badak

dongeng Si Gajah dan Si Badak April 14th, 2008 Suatu hari di sebuah hutan belantara tampaklah seekor gajah yang berbadan besar dengan belalai panjangnya sedang bercengkrama dengan seekor badak. Si Badak terpesona melihat dua gading gajah yang membuat Si Gajah makin terlihat gagah. Kemudian Si Badak bertanya " Jah…Gajah…kok kamu bisa punya sepasang cula yang hebat begitu bagaimana caranya tho?…kamu terlihat semakin gagah saja". Lantas dengan bangga Si Gajah pun bercerita tentang puasa tidak makan tidak minumnya selama 80 hari. Berkat puasa itulah Si Gajah bisa mendapatkan cula yang hebat seperti yang Badak lihat sekarang. Akhirnya karena Si Badak juga ingin tampil gagah, dia pun mulai menjalani puasa 80 harinya seperti yang Si Gajah lakukan. Seminggu kemudian…… "Ahhh…enteeeeeng…." Badak sesumbar. Dua minggu berikutnya…… Si BAdak mulai sedikit lemas, dia masih bertahan meski rasa lapar, rasa haus kian menghantuinya. Dia iri melih

Sebuah esai tentang kebudayaan bersifat simbolik

Di sebuah stasiun TV Swasta terlihat ada sebuah penayangan mengenai kehidupan sebuah suku yang masih kental dengan keprimitifannya. Sebut saja salah satu suku di Afrika. Tampak di sana sekelompok manusia berpakaian seadanya, sedang duduk mengelilingi api unggun. Kepala suku mereka sedang menceritakan kepada anggota kelompoknya yang lain, menceritakan mengenai sebuah batu yang tiba-tiba saja terlempar dari arah gunung berkapur hingga hampir membuatnya celaka, hingga detik itu juga dia, selaku kepala suku di sana menyatakan bahwa benda tersebut adalah ‘benda jahat atau benda setan’. Simbol tersebut dia gunakan sebagai bentuk kekhawatirannya terhadap anggota kelompoknya yang lain, sehingga mendorong agar anggota yang lain selalu waspada. Bentuk pengungkapan itu membudaya dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Hingga kemudian manusia menjadi lebih pandai dan cerdas hingga benda yang disebut-sebut sebagai benda jahat itu hanyalah sebuah bongkahan batu yang secara tidak sengaja terlempa

SANGIRA

Sangira Sang, Hujan mau datang lagi. Sudikah kiranya dirimu antarku pulang? Sang, kukecilkan pakaian-pakaian longgarmu, ambillah, sudah kutaruh di almari. Aku mau pulang, Sang. Aku tidak bisa berlama-lama lagi di sini. Di tempat ini. Aku takut, Sang. Tempat ini sudah sangat berbeda, kita tidak bisa lagi main-main dengan Hujan seperti dulu. Masih ingatkah engkau pada bunyi kecipak-cipak air yang main lompat di kubangan lumpur, Sang? Aku rindu. Aku mau pulang, Sang…. Seperti memang sudah berjodoh, aku bertemu lagi dengan laki-laki berkemeja garis-garis biru yang kemarin aku temui di sebuah toko kue. Dia tengah kebingungan mencari sebuah kue ulang tahun yang katanya untuk seseorang yang spesial. Untuk pacarnya kurasa. Tapi siapapun perempuan itu sudah pasti dia beruntung sekali. Bagaimana tidak, laki-laki itu terlihat begitu sangat perhatian, peduli, dan rasa sayang yang diperlihatkan pada muka bingungnya ketika mencari kue ulang tahun yang pas untuk seseorang istimewanya itu membuatk