Kukerahkan semua pikiranku untuk berangan. Kupaksakan semua filosofi hidup yang kupunya agar menghasilkan sebuah tulisan. Ada banyak upaya yang musti dilakukan agar semua asa rasa terbayar. Begitu banyak ruang yang ingin diselami. Tapi mungkin waktu tak cukup banyak memberi kompromi.
Semua berdiri pada masing-masing pilar hati yang ada di dalam sak baju mereka. Tidak ada eksistensi. Pola mereka terbaca. Sama. Ritme dan perpaduan gerak langkahnya. Makin lama makin jelas. Aku jadi mengerti kenapa mereka saling berdiam dalam dentuman yang luar biasa keras dan memekakkan telinga. Aku cukup memahami. Akh…lagi-lagi memahami. Pemahaman yang berjalan satu arah. Terlalu banyak jeda antara aku dan mereka.
Ruang bernyawa itu tak akan berarti apabila masing-masing dari kami tidak saling mengisi. Tidak saling memberi kekuatan, tidak saling berbicara. Kata saling menjadi kunci penting dalam tulisan ini.
Sama seperti lari estafet, sekencang apapun kita berlari, sejauh apapun kita melaju bersama angin, kita tidak akan pernah berhenti apabila tidak ada partner kita yang siap sedia menerima uluran tongkat yang kita bawa. Kita akan terus berlari, sampai napas kita habis, sampai kaki-kaki kita rasa mati.
Pekerjaan rumah kita tidak akan menjadi ringan jika dikerjakan sendirian. Tanpa teman.
Kita tidak pernah akan mungkin menepuk pundak sendiri untuk memberi semangat. Bahkan, para pemain bola basket pun membutuhkan pemandu sorak untuk membuat permainan mereka semarak.
Aku, kamu, dia, mereka, kita semua tidak cukup kuat untuk berdiri sendirian. Tanpa saling.
Lihat saja gemerlap bintang di langit. kilaunya tak akan menjadi indah tanpa pijaran rembulan keemasan. Si Bulan pun tak mampu berpijar sendiri. Rona kuning keemasaannya bersinar terang memantul dari Sang Surya. Satu melengkapi yang lain. Manusia hanya tinggal menikmati keindahannya, itu saja masih banyak yang protes kalau bulatan bulan tak sempurna, atau kalau jumlah bintang di angkasa tak sebanyak yang biasa terlihat. Manusia memang gampang berpaling, sulit untuk menggenggam saling dalam satu kait.
Kaki-kaki basah terciprat lumpur beradu. Kompak mereka berdua berlari, satu sama lain berjalan beriringan. Tak jadi soal jikalau Si Kanan sering jalan duluan. Kiri pun tak ada rasa iri, bahkan dengki. Karena dia tahu, satu saling lengkapi. Bukan masalah siapa dulu yang tiba di tujuan, yang penting adalah satu tujuan, dan kebersamaan. Si Kiri akan selalu setia dengan Si Kanan. Begitu juga sebaliknya. Tak ada satu maka timpang. Belajar dari si Kaki, mungkin kita akan bisa menjadi mengerti.
Sudahkah saling kita cukup kuat? Cukup kuat untuk tidak saling mengikat terlalu kencang satu sama lain, cukup kuat untuk tidak saling membuat sesak satu sama lain, cukup memberi ruang satu sama lain, cukup kuat untuk bisa saling mengerti dan memahami? Sudahkah?
Hari ini kita pun saling belajar. Belajar untuk saling memanusiakan. Menghargai eksistensinya, menghargai karya-karyanya, dan menghargai setiap perjalanan pencariannya.
Saling. Pikiran selang-seling. Tak berpaling.
Sudahkah Kita saling?
Semilir, 15 agustus 2010
Semua berdiri pada masing-masing pilar hati yang ada di dalam sak baju mereka. Tidak ada eksistensi. Pola mereka terbaca. Sama. Ritme dan perpaduan gerak langkahnya. Makin lama makin jelas. Aku jadi mengerti kenapa mereka saling berdiam dalam dentuman yang luar biasa keras dan memekakkan telinga. Aku cukup memahami. Akh…lagi-lagi memahami. Pemahaman yang berjalan satu arah. Terlalu banyak jeda antara aku dan mereka.
Ruang bernyawa itu tak akan berarti apabila masing-masing dari kami tidak saling mengisi. Tidak saling memberi kekuatan, tidak saling berbicara. Kata saling menjadi kunci penting dalam tulisan ini.
Sama seperti lari estafet, sekencang apapun kita berlari, sejauh apapun kita melaju bersama angin, kita tidak akan pernah berhenti apabila tidak ada partner kita yang siap sedia menerima uluran tongkat yang kita bawa. Kita akan terus berlari, sampai napas kita habis, sampai kaki-kaki kita rasa mati.
Pekerjaan rumah kita tidak akan menjadi ringan jika dikerjakan sendirian. Tanpa teman.
Kita tidak pernah akan mungkin menepuk pundak sendiri untuk memberi semangat. Bahkan, para pemain bola basket pun membutuhkan pemandu sorak untuk membuat permainan mereka semarak.
Aku, kamu, dia, mereka, kita semua tidak cukup kuat untuk berdiri sendirian. Tanpa saling.
Lihat saja gemerlap bintang di langit. kilaunya tak akan menjadi indah tanpa pijaran rembulan keemasan. Si Bulan pun tak mampu berpijar sendiri. Rona kuning keemasaannya bersinar terang memantul dari Sang Surya. Satu melengkapi yang lain. Manusia hanya tinggal menikmati keindahannya, itu saja masih banyak yang protes kalau bulatan bulan tak sempurna, atau kalau jumlah bintang di angkasa tak sebanyak yang biasa terlihat. Manusia memang gampang berpaling, sulit untuk menggenggam saling dalam satu kait.
Kaki-kaki basah terciprat lumpur beradu. Kompak mereka berdua berlari, satu sama lain berjalan beriringan. Tak jadi soal jikalau Si Kanan sering jalan duluan. Kiri pun tak ada rasa iri, bahkan dengki. Karena dia tahu, satu saling lengkapi. Bukan masalah siapa dulu yang tiba di tujuan, yang penting adalah satu tujuan, dan kebersamaan. Si Kiri akan selalu setia dengan Si Kanan. Begitu juga sebaliknya. Tak ada satu maka timpang. Belajar dari si Kaki, mungkin kita akan bisa menjadi mengerti.
Sudahkah saling kita cukup kuat? Cukup kuat untuk tidak saling mengikat terlalu kencang satu sama lain, cukup kuat untuk tidak saling membuat sesak satu sama lain, cukup memberi ruang satu sama lain, cukup kuat untuk bisa saling mengerti dan memahami? Sudahkah?
Hari ini kita pun saling belajar. Belajar untuk saling memanusiakan. Menghargai eksistensinya, menghargai karya-karyanya, dan menghargai setiap perjalanan pencariannya.
Saling. Pikiran selang-seling. Tak berpaling.
Sudahkah Kita saling?
Semilir, 15 agustus 2010
Komentar
Posting Komentar