Langsung ke konten utama

Saling

Kukerahkan semua pikiranku untuk berangan. Kupaksakan semua filosofi hidup yang kupunya agar menghasilkan sebuah tulisan. Ada banyak upaya yang musti dilakukan agar semua asa rasa terbayar. Begitu banyak ruang yang ingin diselami. Tapi mungkin waktu tak cukup banyak memberi kompromi.

Semua berdiri pada masing-masing pilar hati yang ada di dalam sak baju mereka. Tidak ada eksistensi. Pola mereka terbaca. Sama. Ritme dan perpaduan gerak langkahnya. Makin lama makin jelas. Aku jadi mengerti kenapa mereka saling berdiam dalam dentuman yang luar biasa keras dan memekakkan telinga. Aku cukup memahami. Akh…lagi-lagi memahami. Pemahaman yang berjalan satu arah. Terlalu banyak jeda antara aku dan mereka.

Ruang bernyawa itu tak akan berarti apabila masing-masing dari kami tidak saling mengisi. Tidak saling memberi kekuatan, tidak saling berbicara. Kata saling menjadi kunci penting dalam tulisan ini.

Sama seperti lari estafet, sekencang apapun kita berlari, sejauh apapun kita melaju bersama angin, kita tidak akan pernah berhenti apabila tidak ada partner kita yang siap sedia menerima uluran tongkat yang kita bawa. Kita akan terus berlari, sampai napas kita habis, sampai kaki-kaki kita rasa mati.

Pekerjaan rumah kita tidak akan menjadi ringan jika dikerjakan sendirian. Tanpa teman.

Kita tidak pernah akan mungkin menepuk pundak sendiri untuk memberi semangat. Bahkan, para pemain bola basket pun membutuhkan pemandu sorak untuk membuat permainan mereka semarak.

Aku, kamu, dia, mereka, kita semua tidak cukup kuat untuk berdiri sendirian. Tanpa saling.

Lihat saja gemerlap bintang di langit. kilaunya tak akan menjadi indah tanpa pijaran rembulan keemasan. Si Bulan pun tak mampu berpijar sendiri. Rona kuning keemasaannya bersinar terang memantul dari Sang Surya. Satu melengkapi yang lain. Manusia hanya tinggal menikmati keindahannya, itu saja masih banyak yang protes kalau bulatan bulan tak sempurna, atau kalau jumlah bintang di angkasa tak sebanyak yang biasa terlihat. Manusia memang gampang berpaling, sulit untuk menggenggam saling dalam satu kait.

Kaki-kaki basah terciprat lumpur beradu. Kompak mereka berdua berlari, satu sama lain berjalan beriringan. Tak jadi soal jikalau Si Kanan sering jalan duluan. Kiri pun tak ada rasa iri, bahkan dengki. Karena dia tahu, satu saling lengkapi. Bukan masalah siapa dulu yang tiba di tujuan, yang penting adalah satu tujuan, dan kebersamaan. Si Kiri akan selalu setia dengan Si Kanan. Begitu juga sebaliknya. Tak ada satu maka timpang. Belajar dari si Kaki, mungkin kita akan bisa menjadi mengerti.

Sudahkah saling kita cukup kuat? Cukup kuat untuk tidak saling mengikat terlalu kencang satu sama lain, cukup kuat untuk tidak saling membuat sesak satu sama lain, cukup memberi ruang satu sama lain, cukup kuat untuk bisa saling mengerti dan memahami? Sudahkah?

Hari ini kita pun saling belajar. Belajar untuk saling memanusiakan. Menghargai eksistensinya, menghargai karya-karyanya, dan menghargai setiap perjalanan pencariannya.

Saling. Pikiran selang-seling. Tak berpaling.

Sudahkah Kita saling?

Semilir, 15 agustus 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

dongeng Si Gajah dan Si Badak

dongeng Si Gajah dan Si Badak April 14th, 2008 Suatu hari di sebuah hutan belantara tampaklah seekor gajah yang berbadan besar dengan belalai panjangnya sedang bercengkrama dengan seekor badak. Si Badak terpesona melihat dua gading gajah yang membuat Si Gajah makin terlihat gagah. Kemudian Si Badak bertanya " Jah…Gajah…kok kamu bisa punya sepasang cula yang hebat begitu bagaimana caranya tho?…kamu terlihat semakin gagah saja". Lantas dengan bangga Si Gajah pun bercerita tentang puasa tidak makan tidak minumnya selama 80 hari. Berkat puasa itulah Si Gajah bisa mendapatkan cula yang hebat seperti yang Badak lihat sekarang. Akhirnya karena Si Badak juga ingin tampil gagah, dia pun mulai menjalani puasa 80 harinya seperti yang Si Gajah lakukan. Seminggu kemudian…… "Ahhh…enteeeeeng…." Badak sesumbar. Dua minggu berikutnya…… Si BAdak mulai sedikit lemas, dia masih bertahan meski rasa lapar, rasa haus kian menghantuinya. Dia iri melih

Sebuah esai tentang kebudayaan bersifat simbolik

Di sebuah stasiun TV Swasta terlihat ada sebuah penayangan mengenai kehidupan sebuah suku yang masih kental dengan keprimitifannya. Sebut saja salah satu suku di Afrika. Tampak di sana sekelompok manusia berpakaian seadanya, sedang duduk mengelilingi api unggun. Kepala suku mereka sedang menceritakan kepada anggota kelompoknya yang lain, menceritakan mengenai sebuah batu yang tiba-tiba saja terlempar dari arah gunung berkapur hingga hampir membuatnya celaka, hingga detik itu juga dia, selaku kepala suku di sana menyatakan bahwa benda tersebut adalah ‘benda jahat atau benda setan’. Simbol tersebut dia gunakan sebagai bentuk kekhawatirannya terhadap anggota kelompoknya yang lain, sehingga mendorong agar anggota yang lain selalu waspada. Bentuk pengungkapan itu membudaya dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Hingga kemudian manusia menjadi lebih pandai dan cerdas hingga benda yang disebut-sebut sebagai benda jahat itu hanyalah sebuah bongkahan batu yang secara tidak sengaja terlempa

Langkahkan Kakimu dan Luaskan Pandanganmu

    Ada banyak kota di dunia ini yang bisa saja saya tulis dan saya rangkai untuk kemudian menjadi tokoh utama dalam tulisan ini. Sayangnya, ternyata urusan memilih kota impian itu tidak lah semudah seperti memilih baju mana yang hendak dipakai di dalam tumpukan baju yang belum disetrika. Njlimet saya tuh orangnya… :D Eropa, US, Canada, Oz, New Zealand, Egyptian, Southern Asia, hingga East Asia macam Seoul, Japan, negara dan kota yang nge-hits belakangan karena faktor serial drama-dramanya   juga tak membuat saya lantas menisbahkan mereka untuk menjadi salah satu kota yang ingin saya kunjungi. Ya seneng juga melihat beberapa teman sudah banyak yang berhasil menapaki diri ke sana, entah karena pekerjaan, karena sekolah, karena usaha kerasnya sedari dulu, karena memenangkan undian, atau yang karena dapat bonus dari usahanya mengejar poin, bahkan ada juga yang karena pasangannya horang tajir melintir, akhirnya kesempatannya untuk bisa bepergian keliling Indonesia bahkan ke lua