Langsung ke konten utama

Sebuah Apel dan Dua Bungkus Mie Goreng Ukuran Jumbo



Siapa menyangka malam minggu yang biasanya tidak membuatku kelimpungan karena sendirian tanpa kawan, kali ini membuatku resah tanpa alasan. Malam ini kuputuskan untuk tidak pulang ke kampung halaman seperti yang sudah-sudah kulakukan tiap minggunya, aku masih tetap terpekur di sebuah ruangan berukuran 3x3m dengan televisi yang menyala cukup keras hingga mungkin cukup mampu membuat seekor semut menjadi tuli. Rumah kos kali ini sepi. Mungkin sebenarnya aku ditemani oleh hantu-hantu yang tidak punya nyali untuk unjuk diri, akh..mungkin sebaiknya juga mereka tidak menampakkan diri. Bisa kuajak mereka berdansa di bawah temaram bulan sampai pagi dan bisa-bisa aku tak sadarkan diri dan bangun di kamar mandi nanti. Terlalu beresiko, aku tidak punya cukup nyali untuk bangun dan mendapati diri basah di pagi hari.

Acara pencarian bakat di televisi pun tak mampu usir rasa sepiku. Aku hanya menganggap orang-orang di dalamnya hanyalah sebuah gambar bergerak yang tidak bisa kuajak bicara. Bahkan kosan ini pun tidak biasanya sepi seperti sekarang. Tidak hari ini, tidak di malam minggu, tidak ketika aku di sini. Semua penghuni lengang, pergi punya tujuan. Meski sebenarnya suara panggung gembira yang tengah diadakan di kampung tempatku habiskan malam-malam ini sedang mengadakan sebuah perayaan, dan itu tepat persis di depan rumah kosanku. Suara gempitanya pun tak mampu usir rasa resah dan sepiku malam ini. Betapa menyebalkannya, malam minggu, tak bisa kemana-mana, sendiri di kosan tak berpenghuni, dan dengan perut yang tak henti bernyanyi. Ditambah dengan suara pedangdut yang bikinku makin emosi.

Aku sudah berdandan rapi dan cukup pantas untuk pergi keluar habiskan malam dengan obrolan dan juga sepiring nasi. Meski aku tahu diri tidak menyebut diriku cantik, tapi paling tidak malam ini aku benar-benar ingin tertawa dengan obrolan yang mengelitik. Sebuah kabar membuatku bersemangat, kau bilang kau akan datang malam ini. Akh, syukurlah…kabar darimu begitu kutunggu. Aku cemas karena seharian ini aku merasa kau terlalu lelah. Dan aku khawatir kau jatuh sakit entah meriang entah panas dalam. Aku mempersiapkan diri, menyambut kedatanganmu. Mematut-matut di depan cermin, usahakan pakai baju trendy agar kau tak bergumam dalam hati betapa ketinggalan jamannya aku ini.

Setengah jam kutunggu…..aku hanya melihat jarum jam berdetak berlalu. Sementara bunyi perut sudah begitu mengganggu. Mungkin ada baiknya aku ikut tampil di panggung gembira, biarkan mulutku bungkam tapi perutku saja yang berdendang. Tapi tidak, aku akan bertemu dirimu, akan kubujuk tuk temaniku makan, tenang saja kali ini aku yang bayar, mentraktir sepuasmu, di gerobak soto ibu tempat biasa kita habiskan gelak dan bahak.

Satu jam berlalu, tak juga kulihat kepalamu yang sering nongol mendahului kain korden penutup pintu kamar, dan tentu saja kau bawa serta mata teduhmu bersama.

Aku mulai gusar. Kamu memang tidak menjanjikan benar-benar akan datang, kamu hanya bilang mungkin kamu akan datang. Aaaarrrghhhh…kenapa di saat aku mengharapkan waktu cepat berlalu justru dia malah memperlambat langkahnya. Satu jam terasa begitu sangaaaaaat lama.

Jam setengah sepuluh malam. Apakah aku masih boleh berharap kamu masih tetap akan datang. Ah, mungkin kamu tetap akan datang dan kita bisa keluar sekedar makan dan mengopi.
Tapi kau tidak kunjung datang. Tidak ada sms, tidak ada telpon. Tidak ada kabar.

Kamu baik-baik saja kan, Madu?
Jam sepuluh, dan gerbang kunjungan rumah kosku sudahlah berakhir. Dia tidak mungkin datang. Meski hanya sekedar untuk mengajakku makan. Tak mungkin dia datang malam-malam dan pulang pagi hari dengan perjalanan sejauh kurang lebih 27 kilometer dari tempatku sekarang. Tidak untuk kondisi tubuh dia yang sekarang.

Ingin kulempar suara gaduh di depan dengan sandal. Berisik saja! Entah kenapa aku tiba-tiba emosi, mungkin ini hanyalah penyaluran emosiku karena dia tidak datang, atau karena ‘tamu’ yang biasa datang tiap bulan hendak bertandang.

Jam setengah sebelas, aku kupas sebuah apel segar dan kupotong-potong dadu. Untuk sekedar mengganjal perut. Mungkin ini cukup.

Tepat jam sebelas, aku sudah mulai tidak tenang. Tidak tenang karena dia tidak datang tanpa kirim kabar dan tidak tenang karena rasa lapar tidak berhasil kubunuh. Maafkan perutku yang tidak tahu diri dan situasi ini.
Aku ganti baju, dengan baju biasa sehari-hari seperti biasanya. Dan aku sudah meyakinkan diri bahwa dia tidak akan datang. Ya sudah, biarkan saja dia beristirahat di rumah. Mungkin ada keadaan yang tiba-tiba membuatnya mengurungkan niatannya berkunjung. Sudah untung dia tadi menelepon dan sampaikan dia dalam keadaan sehat.

Setelah tulisan ini akan selesai kutulis, aku sedang punya pikiran untuk pergi ke supermarket yang menyatakan membuka dirinya 24 jam, untuk membeli dua bungkus mie goreng jumbo dan dua butir telur.
Aku akan langkahkan kakiku ke sana. Pergi dari bingar sejenak, melihat keramaian lain di jalan raya, dan setelahnya tentu saja, mengabdikan diri dengan mie goreng ukuran jumbo. Sedaaaaap…!


Sabtu, 23 Oktober 2010

Komentar

  1. sandraaa....siapakah diaaa.....? kenapa ga kau telpon dia? haruu :(

    BalasHapus
  2. Dia adalah Madu-ku say...hehehehhe...
    kamu haru karena dia tak kunjung datang atau haru karena aku menahan rasa lapar...? hahahhahahha.....

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

dongeng Si Gajah dan Si Badak

dongeng Si Gajah dan Si Badak April 14th, 2008 Suatu hari di sebuah hutan belantara tampaklah seekor gajah yang berbadan besar dengan belalai panjangnya sedang bercengkrama dengan seekor badak. Si Badak terpesona melihat dua gading gajah yang membuat Si Gajah makin terlihat gagah. Kemudian Si Badak bertanya " Jah…Gajah…kok kamu bisa punya sepasang cula yang hebat begitu bagaimana caranya tho?…kamu terlihat semakin gagah saja". Lantas dengan bangga Si Gajah pun bercerita tentang puasa tidak makan tidak minumnya selama 80 hari. Berkat puasa itulah Si Gajah bisa mendapatkan cula yang hebat seperti yang Badak lihat sekarang. Akhirnya karena Si Badak juga ingin tampil gagah, dia pun mulai menjalani puasa 80 harinya seperti yang Si Gajah lakukan. Seminggu kemudian…… "Ahhh…enteeeeeng…." Badak sesumbar. Dua minggu berikutnya…… Si BAdak mulai sedikit lemas, dia masih bertahan meski rasa lapar, rasa haus kian menghantuinya. Dia iri melih

Sebuah esai tentang kebudayaan bersifat simbolik

Di sebuah stasiun TV Swasta terlihat ada sebuah penayangan mengenai kehidupan sebuah suku yang masih kental dengan keprimitifannya. Sebut saja salah satu suku di Afrika. Tampak di sana sekelompok manusia berpakaian seadanya, sedang duduk mengelilingi api unggun. Kepala suku mereka sedang menceritakan kepada anggota kelompoknya yang lain, menceritakan mengenai sebuah batu yang tiba-tiba saja terlempar dari arah gunung berkapur hingga hampir membuatnya celaka, hingga detik itu juga dia, selaku kepala suku di sana menyatakan bahwa benda tersebut adalah ‘benda jahat atau benda setan’. Simbol tersebut dia gunakan sebagai bentuk kekhawatirannya terhadap anggota kelompoknya yang lain, sehingga mendorong agar anggota yang lain selalu waspada. Bentuk pengungkapan itu membudaya dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Hingga kemudian manusia menjadi lebih pandai dan cerdas hingga benda yang disebut-sebut sebagai benda jahat itu hanyalah sebuah bongkahan batu yang secara tidak sengaja terlempa

Langkahkan Kakimu dan Luaskan Pandanganmu

    Ada banyak kota di dunia ini yang bisa saja saya tulis dan saya rangkai untuk kemudian menjadi tokoh utama dalam tulisan ini. Sayangnya, ternyata urusan memilih kota impian itu tidak lah semudah seperti memilih baju mana yang hendak dipakai di dalam tumpukan baju yang belum disetrika. Njlimet saya tuh orangnya… :D Eropa, US, Canada, Oz, New Zealand, Egyptian, Southern Asia, hingga East Asia macam Seoul, Japan, negara dan kota yang nge-hits belakangan karena faktor serial drama-dramanya   juga tak membuat saya lantas menisbahkan mereka untuk menjadi salah satu kota yang ingin saya kunjungi. Ya seneng juga melihat beberapa teman sudah banyak yang berhasil menapaki diri ke sana, entah karena pekerjaan, karena sekolah, karena usaha kerasnya sedari dulu, karena memenangkan undian, atau yang karena dapat bonus dari usahanya mengejar poin, bahkan ada juga yang karena pasangannya horang tajir melintir, akhirnya kesempatannya untuk bisa bepergian keliling Indonesia bahkan ke lua