Sampai sekian detik ini saya masih mencoba menelaah kembali kontrak hidup saya dengan Tuhan. Hanya masalahnya muncul ketika saya sama sekali tidak menahu tentang isi dari kontrak yang sudah saya tanda tangani waktu itu.
Jadi saya gambarkan pada waktu itu Tuhan berkata dengan bijak kepada saya
“ Kamu siap-siap ya dengan tugas dan kewajibanmu sebagai manusia di dunia…” Lalu Tuhan menyodorkan sebuah kontrak kosong, berikut beserta materai yang tidak perlu diragukan lagi keabsahan dan nilai hukumnya.
“Kenapa kosong, Tuhan?” Saya akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.
“Sayang, lembaran ini Aku biarkan kosong supaya kamu bisa memberi warna-warna di atasnya secara bebas.”
“Bebas?” Saya kembali bertanya. Tuhan pun mengangguk.
“Jadi jika saya hanya ingin melipatnya saja dan memasukkannya ke dalam saku saya, itu juga tak apa,Tuhan?” kata saya lagi.
“Tidak apa, Sayang. Hanya saja kau tidak akan pernah belajar apapun nantinya.”
Nah, setelah dua puluh tahunan sudah saya kembali membuka kontrak hidup saya, saya menemukan sebuah tantangan hidup saya yang sebenarnya ketika usia saya landas menginjak angka 22 . Sebelum-sebelumnya warna hidup saya kalau boleh saya jujur, tidak terlalu banyak gejolak yang berarti. Saya tidak merasa punya banyak warna selain urusan pribadi saya yang memang saya akui carut marut. Hingga saya putuskan untuk berkonsentrasi saja pada karier saya, tanpa memikirkan hal-hal lain yang membuang waktu seperti halnya masalah asmara saya. Dan hasilnya luar biasa. Saya benar-benar seperti setan alas yang bekerja giat, menghasilkan reputasi baik, nilai akademis yang baik. Hingga akhirnya saya lulus kuliah dengan nilai yang baik pula, kemudian saya bekerja di tempat yang baik pula. Di tempat saya bekerja ini saya menemukan banyak hal baru. Saya belajar banyak setelah saya memutuskan untuk keluar dari pekerjaan saya tersebut.
Apakah karena pekerjaannya tidak menyenangkan? Ohh..sangat tidak betul. Saya menyukai pekerjaan saya di sana. Di sana saya bisa terus selalu belajar mengembangkan kepandaiannya saya, dan lainnya. Hanya saja mungkin di usia saya 22 dan 23 saya masih terlalu muda untuk benar-benar mengetahui apa yang sebenarnya saya inginkan. Untuk bisa dengan lebih bijak menyikapi berbagai kejadian dan hal-hal yang terjadi. Begitu saya mulai menyukai pekerjaan saya, saya mendapat kabar—dan saya merasakan sendiri juga perubahan emosi yang begitu sangat kental terjadi pada salah seorang rekan kerja saya. Saya tidak tahu mengapa, apa sebab dia begitu amat sangat membenci saya. Ditambah dengan begitu saya memandang ke luar kotak, di lingkungan tersebut ada begitu banyak problematika sosial yang saya sendiri kurang memahami kenapa bisa sampai seperti itu. Saya memang bukan dukun atau paranormal, saya hanya pernah belajar untuk memahami keadaan dan membaca situasi, dan pikiran orang. Hanya saja ilmu yang saya punya masih perlu diasah lagi. Masih nanggung.
Ditambah dengan provokasi –saya bilang itu provokasi yang menyampaikan dengan lugas bahwa sebaiknya saya keluar saja dari pekerjaan saya. Hal itu juga dibarengi dengan pada saat itu saya tengah aktif mengikuti kegiatan-kegiatan bisnis.
Saya baru tersadar bahwa teman saya itu membenci saya karena dia juga terprovokasi oleh beberapa rekan kerja saya yang lain. Saya tahu pasti bahwa kalimat demi kalimat yang saya ucapkan tidak sama seperti yang beberapa rekan saya katakan tersebut kepada rekan yang membenci saya itu. Tapi ya, daripada saya mengklarifikasi lebih baik biar waktu yang membuktikan bahwa saya tidak bersalah dan tidak berkata hal yang buruk mengenai rekan saya itu. Alhasil, dengan segala kemantapan hati saya pada saat itu, saya keluar juga dengan hutang yang masih saya belum bayar—penalti dari perusahaan saya. Tapi, saya pasti bayar nantinya. Karena hutang mau sampai kapanpun ya namanya tetap hutang. Musti dibayar.
Apakah saya menyesal?
Ya dan tidak. Ya, karena saya merasa saya belum cukup baik menyelesaikan tanggung jawab saya di sana, saya tidak sempat berkata-kata kepada salah seorang senior saya, yang saya sudah banyak belajar dari dia. Mungkin sampai sekarang dia masih memendam amarah pada saya. Intinya saya menyesal karena meninggalkan pekerjaan dalam suasana yang kurang baik.
Tidak menyesal karena saya menemukan tantangan baru dalam hidup saya, yang tidak hanya sekedar bercorak garis lurus, garis linear. Saya menemukan arti hidup saya yang sebenarnya sekarang. Saya telah keluar dari zona nyaman, aman saya. Bahkan sampai detik ini saya menulis, saya masih tinggal di titik tidak aman. Tapi saya hanya tertawa, mungkin kalau tidak begini hidup saya tidak bertambah seru.
Melalui tulisan-tulisan ini saya mengerti bahwa setiap orang bebas merangkai warna hidupnya menjadi seperti apa saja. Tidak ada yang salah dengan menjadi seorang ibu rumah tangga, seorang pekerja buruh, seorang karyawan, seorang bos, seorang guru, seorang pengusaha, seorang pejabat, seorang pemimpin negara, bahkan pengangguran sekalipun. Semua profesi adalah baik.
Selama ini saya beranggapan bahwa profesi-profesi tertentu hanya memeras tenaga, tetapi hasilnya tidak sesuai, profesi A kurang menantang, profesi B membosankan dengan rutinitas yang itu-itu saja, dan lain sebagainya. Ternyata saya salah. Saya belajar bagaimana menghargai sebuah profesi apapun itu.
Saya juga belajar bahwa tidak akan ada artinya semua profesi yang saya sebutkan tadi apabila kita sebagai manusia tidak mampu menjadi manfaat yang baik bagi kehidupan manusia yang lain. Karena kita dilahirkan ke dunia dengan membawa kewajiban dan tugas yang besar.Tidak ada bagusnya apabila dengan semua profesi tersebut kita tidak mampu berbagi dengan sesama. Tidak ada nilainya jika kita hanya terus menyalahkan, berburuk sangka, pesimis, patah semangat seakan Tuhan tidak akan memberikan jalanNya yang baik untuk kita.
Itu warna semarak yang saya dapat ambil selepas saya keluar dari pekerjaan saya. Warna terbaik sepanjang saya tumbuh besar dan akhirnya lulus dari kuliah. Meski saya masih dalam keadaan yang bisa dibilang carut marut juga—sekarang secara karier dan financial, saya masih bisa tersenyum menyemangati diri saya, dan semakin merasakan dekapan Tuhan yang hangat.
Tuhan itu baik, karena tidak pernah membiarkan bumi berputar sama halnya tidak membiarkan kehidupan manusia berhenti berputar. Kadang ke atas, kadang ke bawah. Dan warna yang semarak itu adalah ketika kita mampu merasakan keduanya, agar terus ingat supaya kita tidak menjadi manusia yang congkak dan selalu mendongak.
Saya belajar..saya belajar…dan akan terus belajar.
Demi kehidupan diri sendiri, dan demi Tuhan yang telah memberikan saya kontrak sampai mati.
Kepada rekan yang masih memendam amarahnya, maaf dan terima kasih atas pelajarannya yang berharga. Kepada setiap semangat dan rasa percaya kepada saya untuk terus menggali diri, dan mengembangkan diri. Maaf jika saya sudah melukai hati.
Sampai detik ini saya masih membuka kontrak saya yang makin lecek dan kumal. Semoga kontrak ini masih bertahan lama hingga saya bisa mewujudkan impian saya.
Saya sudah mengerti apa yang saya harus lakukan sekarang Tuhan, terima kasih, sudah memberikan saya kebebasan untuk memberi warna dan ruang untuk berdiskusi, terima kasih karena kebebasan yang Kau beri masih tetap terus di bawah pengawasanMu.
Saya sudah bertambah dewasa Tuhan dalam dua tahun ini. Waktu kontrak hidup saya jadi semakin singkat saja.
saya tidak akan membuatMu kecewa. Tidak akan pernah.
Jadi saya gambarkan pada waktu itu Tuhan berkata dengan bijak kepada saya
“ Kamu siap-siap ya dengan tugas dan kewajibanmu sebagai manusia di dunia…” Lalu Tuhan menyodorkan sebuah kontrak kosong, berikut beserta materai yang tidak perlu diragukan lagi keabsahan dan nilai hukumnya.
“Kenapa kosong, Tuhan?” Saya akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.
“Sayang, lembaran ini Aku biarkan kosong supaya kamu bisa memberi warna-warna di atasnya secara bebas.”
“Bebas?” Saya kembali bertanya. Tuhan pun mengangguk.
“Jadi jika saya hanya ingin melipatnya saja dan memasukkannya ke dalam saku saya, itu juga tak apa,Tuhan?” kata saya lagi.
“Tidak apa, Sayang. Hanya saja kau tidak akan pernah belajar apapun nantinya.”
Nah, setelah dua puluh tahunan sudah saya kembali membuka kontrak hidup saya, saya menemukan sebuah tantangan hidup saya yang sebenarnya ketika usia saya landas menginjak angka 22 . Sebelum-sebelumnya warna hidup saya kalau boleh saya jujur, tidak terlalu banyak gejolak yang berarti. Saya tidak merasa punya banyak warna selain urusan pribadi saya yang memang saya akui carut marut. Hingga saya putuskan untuk berkonsentrasi saja pada karier saya, tanpa memikirkan hal-hal lain yang membuang waktu seperti halnya masalah asmara saya. Dan hasilnya luar biasa. Saya benar-benar seperti setan alas yang bekerja giat, menghasilkan reputasi baik, nilai akademis yang baik. Hingga akhirnya saya lulus kuliah dengan nilai yang baik pula, kemudian saya bekerja di tempat yang baik pula. Di tempat saya bekerja ini saya menemukan banyak hal baru. Saya belajar banyak setelah saya memutuskan untuk keluar dari pekerjaan saya tersebut.
Apakah karena pekerjaannya tidak menyenangkan? Ohh..sangat tidak betul. Saya menyukai pekerjaan saya di sana. Di sana saya bisa terus selalu belajar mengembangkan kepandaiannya saya, dan lainnya. Hanya saja mungkin di usia saya 22 dan 23 saya masih terlalu muda untuk benar-benar mengetahui apa yang sebenarnya saya inginkan. Untuk bisa dengan lebih bijak menyikapi berbagai kejadian dan hal-hal yang terjadi. Begitu saya mulai menyukai pekerjaan saya, saya mendapat kabar—dan saya merasakan sendiri juga perubahan emosi yang begitu sangat kental terjadi pada salah seorang rekan kerja saya. Saya tidak tahu mengapa, apa sebab dia begitu amat sangat membenci saya. Ditambah dengan begitu saya memandang ke luar kotak, di lingkungan tersebut ada begitu banyak problematika sosial yang saya sendiri kurang memahami kenapa bisa sampai seperti itu. Saya memang bukan dukun atau paranormal, saya hanya pernah belajar untuk memahami keadaan dan membaca situasi, dan pikiran orang. Hanya saja ilmu yang saya punya masih perlu diasah lagi. Masih nanggung.
Ditambah dengan provokasi –saya bilang itu provokasi yang menyampaikan dengan lugas bahwa sebaiknya saya keluar saja dari pekerjaan saya. Hal itu juga dibarengi dengan pada saat itu saya tengah aktif mengikuti kegiatan-kegiatan bisnis.
Saya baru tersadar bahwa teman saya itu membenci saya karena dia juga terprovokasi oleh beberapa rekan kerja saya yang lain. Saya tahu pasti bahwa kalimat demi kalimat yang saya ucapkan tidak sama seperti yang beberapa rekan saya katakan tersebut kepada rekan yang membenci saya itu. Tapi ya, daripada saya mengklarifikasi lebih baik biar waktu yang membuktikan bahwa saya tidak bersalah dan tidak berkata hal yang buruk mengenai rekan saya itu. Alhasil, dengan segala kemantapan hati saya pada saat itu, saya keluar juga dengan hutang yang masih saya belum bayar—penalti dari perusahaan saya. Tapi, saya pasti bayar nantinya. Karena hutang mau sampai kapanpun ya namanya tetap hutang. Musti dibayar.
Apakah saya menyesal?
Ya dan tidak. Ya, karena saya merasa saya belum cukup baik menyelesaikan tanggung jawab saya di sana, saya tidak sempat berkata-kata kepada salah seorang senior saya, yang saya sudah banyak belajar dari dia. Mungkin sampai sekarang dia masih memendam amarah pada saya. Intinya saya menyesal karena meninggalkan pekerjaan dalam suasana yang kurang baik.
Tidak menyesal karena saya menemukan tantangan baru dalam hidup saya, yang tidak hanya sekedar bercorak garis lurus, garis linear. Saya menemukan arti hidup saya yang sebenarnya sekarang. Saya telah keluar dari zona nyaman, aman saya. Bahkan sampai detik ini saya menulis, saya masih tinggal di titik tidak aman. Tapi saya hanya tertawa, mungkin kalau tidak begini hidup saya tidak bertambah seru.
Melalui tulisan-tulisan ini saya mengerti bahwa setiap orang bebas merangkai warna hidupnya menjadi seperti apa saja. Tidak ada yang salah dengan menjadi seorang ibu rumah tangga, seorang pekerja buruh, seorang karyawan, seorang bos, seorang guru, seorang pengusaha, seorang pejabat, seorang pemimpin negara, bahkan pengangguran sekalipun. Semua profesi adalah baik.
Selama ini saya beranggapan bahwa profesi-profesi tertentu hanya memeras tenaga, tetapi hasilnya tidak sesuai, profesi A kurang menantang, profesi B membosankan dengan rutinitas yang itu-itu saja, dan lain sebagainya. Ternyata saya salah. Saya belajar bagaimana menghargai sebuah profesi apapun itu.
Saya juga belajar bahwa tidak akan ada artinya semua profesi yang saya sebutkan tadi apabila kita sebagai manusia tidak mampu menjadi manfaat yang baik bagi kehidupan manusia yang lain. Karena kita dilahirkan ke dunia dengan membawa kewajiban dan tugas yang besar.Tidak ada bagusnya apabila dengan semua profesi tersebut kita tidak mampu berbagi dengan sesama. Tidak ada nilainya jika kita hanya terus menyalahkan, berburuk sangka, pesimis, patah semangat seakan Tuhan tidak akan memberikan jalanNya yang baik untuk kita.
Itu warna semarak yang saya dapat ambil selepas saya keluar dari pekerjaan saya. Warna terbaik sepanjang saya tumbuh besar dan akhirnya lulus dari kuliah. Meski saya masih dalam keadaan yang bisa dibilang carut marut juga—sekarang secara karier dan financial, saya masih bisa tersenyum menyemangati diri saya, dan semakin merasakan dekapan Tuhan yang hangat.
Tuhan itu baik, karena tidak pernah membiarkan bumi berputar sama halnya tidak membiarkan kehidupan manusia berhenti berputar. Kadang ke atas, kadang ke bawah. Dan warna yang semarak itu adalah ketika kita mampu merasakan keduanya, agar terus ingat supaya kita tidak menjadi manusia yang congkak dan selalu mendongak.
Saya belajar..saya belajar…dan akan terus belajar.
Demi kehidupan diri sendiri, dan demi Tuhan yang telah memberikan saya kontrak sampai mati.
Kepada rekan yang masih memendam amarahnya, maaf dan terima kasih atas pelajarannya yang berharga. Kepada setiap semangat dan rasa percaya kepada saya untuk terus menggali diri, dan mengembangkan diri. Maaf jika saya sudah melukai hati.
Sampai detik ini saya masih membuka kontrak saya yang makin lecek dan kumal. Semoga kontrak ini masih bertahan lama hingga saya bisa mewujudkan impian saya.
Saya sudah mengerti apa yang saya harus lakukan sekarang Tuhan, terima kasih, sudah memberikan saya kebebasan untuk memberi warna dan ruang untuk berdiskusi, terima kasih karena kebebasan yang Kau beri masih tetap terus di bawah pengawasanMu.
Saya sudah bertambah dewasa Tuhan dalam dua tahun ini. Waktu kontrak hidup saya jadi semakin singkat saja.
saya tidak akan membuatMu kecewa. Tidak akan pernah.
Komentar
Posting Komentar