Pelaku : Babe dan saya
Waktu : jam makan malam
Tempat : di ruang makan
Selepas makan, saya menceritakan kegiatan saya pagi itu pada babe yang duduk di seberang saya. Pagi itu saya bersama seorang teman pergi ke SMA-SMA di kota saya untuk menyebarkan brosur dan mencoba bertemu dengan guru BK dari masing-masing sekolah tersebut. Target kami pada saat itu hanya pada enam sekolah. Saya tertarik dengan sebuah percakapan saya dengan salah seorang guru BK, yang kemudian menjadi topik yang saya sampaikan kepada babe. Hal ini berkaitan dengan ujian nasional. Ternyata, sekarang ini sistem ujian nasional sudah berhasil diubah dan membuat para siswa sekaligus orang tua siswa tidak lagi khawatir, pasalnya sistem yang sekarang ini memungkinkan sekali siswa lulus 100% karena hasil akhir merupakan hasil bagi rata antara jumlah hasil ujian nasional dan juga ujian sekolah. Presentase 60 % diambil dari ujian nasional dan sisanya dari ujian sekolah.
Lalu apa yang menarik dari perbincangan antara saya dengan Babe? Tidak disangka Babe justru tidak setuju dengan perubahan yang dilakukan oleh pemerintah, padahal mungkin di luar sana banyak orang tua murid/siswa yang bernapas lega karena tidak akan mendengar kabar buruk bahwa anaknya tidak lulus sekolah. Bahkan para murid pun sudah pasti senang mendengar berita perubahan ini.
Babe saya orang kelahiran tahun 55, dan menurut Babe, kualitas pendidikan *bukan dari isi materi dan teknologi* jauh lebih baik dulu. Dimana sistem tidak membunuh daya kreativitas guru dan murid.
Lalu kemudian saya menimpali ketidaksetujuannya tersebut dengan pernyataan “ Tapi kan, Be..masa kita udah belajar banyak hal, hasil ujiannya cuma diukur dari nilai tiga mata pelajaran aja? Ngga adil dong?” Begitu pernyataan yang saya lontarkan untuk dapat lebih jauh memahami pola pikir Babe.
Ternyata menurut Babe, dengan sistem yang dibuat sekarang ini, justru akan membuat anak belajar untuk tidak menerima kenyataan.
Kenapa begitu?
Karena, dengan adanya sistem perpaduan antara nilai ujian nasional dan juga nilai ujian sekolah akan memungkinkan dari pihak sekolah untuk membantu “mendongkrak” nilai murid yang membutuhkan untuk lulus, dan juga demi yang disebut “kredibilitas” sekolah yang dilihat pada jumlah banyaknya murid yang mampu diluluskan tiap tahunnya, membuat ujian nasional tidak lagi mampu menjadi filter atau bahan pertimbangan untuk siswa mampu menapaki jenjang yang lebih tinggi atau tidak.
Dalam hal bahwa hasil ujian nasional memang bukan hasil akhir untuk menilai kepandaian seseorang, Babe saya sependapat dengan saya. Tapi dengan menghilangkan atau mengurangi porsinya juga dikatakan tidaklah cukup tepat.
“Kalau tidak lulus, ya mengulang lagi. Kenapa harus takut mengulang sekolah? Anak harus berani menghadapi kenyataan bahwa mereka perlu belajar lagi, memperbaiki keadaan, dan mencoba lagi. Dengan begitu anak jadi tahu apa arti berusaha keras, belajar dengan baik.”
“Kan malu Be kalo ngulang sekolah lagi sampai tahun depannya. Bodoh dong Be berarti”, celetuk saya.
“Nah, justru itu yang harus diubah. Pandangan orang bahwa tidak lulus itu berarti bodoh. Siapa bilang? Zaman Babe dulu yang ngga lulus ya mengulang, ngga masalah. Berarti murid memang harus belajar lagi dan berusaha untuk menerima kenyataan dan memperbaiki kesalahan dan kelemahan. Karena itu, pandangan itu yang harus diubah, bukan ujian nasionalnya yang lantas dipersalahkan. JAdi zaman dulu itu ngga lulus ya biasa, berarti mengulang lagi. Dengan begitu murid dan guru juga sama-sama berusaha untuk meningkatkan kualitas diri.”
“Itu tahun kapan Be?”
“Sebelum zaman Orde Baru”
“Trus setelahnya?” Saya penasaran.
“Ya pas zaman Orde Baru sistem pendidikan diubah. Semua diluluskan. Tidak ada yang tidak lulus. Yang terjadi malah semua orang terlena, dan begitu sistem mulai diubah dengan adanya standarisasi mulai kalang kabut semuanya. Menuntut ini menuntut itu. Lha mau cari ilmu apa cuma mau sekedar dapet ijazah lulus.” Babe pun bangga karena zamannya dulu orangnya jauh lebih pintar—mungkin si Babe bermaksud secara langsung untuk bilang kalau Babe ini pintar—hehehe tapi anyway, Babe memang cerdas dan kritis. Saya mengakui sebagai partner mengobrol, bukan karena beliau ini Bapak saya.
“Lha Be, sekarang kan biaya sekolah mahal. Kalau ngga lulus, musti cari duit banyak lagi buat biaya sekolah.” Timpal saya.
“Lha itu tugas pemerintah. Bagaimana caranya membiayai biaya pendidikan untuk siswa-siswa yang memang belum bisa lulus. Ya kalau pemerintah memang benar-benar pengen membuat anak-anak bangsanya cerdas,sih. Babe kan Cuma bisa ngomong. “ Pernyataan Babe membuatku cengar-cengir.
“Babe ini kayak ngga tahu kalau di Indonesia ini terjadi ketimpangan pendidikan juga di seantero Indonesia, antara satu daerah dengan daerah lainnya.”
“Lhoh bukannya malah aneh kalau outputnya ngga sama.Bukannya sekarang ini sistem pendidikannya dibuat dengan basis paket. Makanya berarti ada hal-hal rancu yang mustinya diperhatikan oleh pemerintah. Bisa dengan membuat standar lulusnya ngga usah naik tiap tahun , dengan training teruji untuk guru-guru kemudian guru disebarkan ke seluruh pelosok negeri dengan honor/gaji yang layak sesuai dengan tingkat kesulitan, ada saat-saat tertentu di kurikulum yang membebaskan murid dan guru untuk berkreativitas bukan kejar target karena harus lulus ujian nasional. Kayak zaman dulu itu malah bagus, ditambah dengan teknologi sekarang yang canggih, kan seharusnya bisa jadi makin lebih baik. Aneh. Anggaran pemerintah untuk pendidikan kan lumayan banyak sebenarnya.”
“Makin turun daerah, makin dikit Be. Kepotong buat biaya lain-lain.” Saya menceplos tanpa aling-aling.
“Husss…nanti kalau kedengeran orang “atas” gimana?”
“Ya laporin ke twitter, facebook, milist Be. Kan malah lebih aman. Lebih bisa melindungi dan membela. Juga memihak pada yang benar-benar memang benar daripada ma aparat yang selalu mencari evidence dulu. Lha evidence/bukti itu bisa direkayasa dengan mudah Be sekarang ini. Orang sudah jauh lebih pandai untuk merekayasa ya Be…” Saya bertopang dagu.
“Be, kok Babe ngga jadi petinggi aja sih Be?” tanyaku usil.
“Babe ngga punya duit banyak, boro-boro jadi petinggi, buat beli bensin mobil aja Babe susah.” Sindir Babe.
Saya tersenyum, manggut-manggut. Saya bergegas membereskan piring-piring kotor dan membawanya ke dapur. Pembicaraan yang bermula dari ujian nasional, meluas hingga akhirnya berujung pula pada betapa dahsyatnya kekuasaan, harga diri yang tinggi, dan tentunya tentang uang.
Saya jadi teringat pada pesan singkat sahabat saya tempo hari yang menyemangati saya.
Kata dia, ijazah itu hanyalah selembar kertas. Pendidikan yang sebenarnya itu ada di dalam diri kita sendiri. Malahan dia bilang dia sempat melihat dan bertemu dengan universitas atau sekolah-sekolah yang justru tidak menghasilkan manusia berijasah, tapi justru menghasilkan manusia mendiri yang tidak menjadikan titel sebagai tujuan.
Jadi siapa pun Anda, bagaimanapun keadaan Anda sekarang, hadapilah kenyataan, beranilah menghadapi kenyataan, dan berjuang keraslah untuk menjadi manusia yang mandiri dan punya pribadi. Tidak peduli Anda punya gelar atau tidak, lulus sekolah atau tidak, karena Anda punya kesempatan yang sama besar untuk menjadi pribadi yang baik, mandiri, cerdas, dan tangguh.
Salam,
Semilir
P.S. thanks to my Babe, and My beloved Friend’ taufiq’
Semoga pendidikan Indonesia mampu melahirkan pribadi-pribadi unggul, tangguh dan mandiri bukan hanya sekedar berapa banyak gelar yang berhasil tercetak di lembaran kertas berjudul “Kartu nama”
Waktu : jam makan malam
Tempat : di ruang makan
Selepas makan, saya menceritakan kegiatan saya pagi itu pada babe yang duduk di seberang saya. Pagi itu saya bersama seorang teman pergi ke SMA-SMA di kota saya untuk menyebarkan brosur dan mencoba bertemu dengan guru BK dari masing-masing sekolah tersebut. Target kami pada saat itu hanya pada enam sekolah. Saya tertarik dengan sebuah percakapan saya dengan salah seorang guru BK, yang kemudian menjadi topik yang saya sampaikan kepada babe. Hal ini berkaitan dengan ujian nasional. Ternyata, sekarang ini sistem ujian nasional sudah berhasil diubah dan membuat para siswa sekaligus orang tua siswa tidak lagi khawatir, pasalnya sistem yang sekarang ini memungkinkan sekali siswa lulus 100% karena hasil akhir merupakan hasil bagi rata antara jumlah hasil ujian nasional dan juga ujian sekolah. Presentase 60 % diambil dari ujian nasional dan sisanya dari ujian sekolah.
Lalu apa yang menarik dari perbincangan antara saya dengan Babe? Tidak disangka Babe justru tidak setuju dengan perubahan yang dilakukan oleh pemerintah, padahal mungkin di luar sana banyak orang tua murid/siswa yang bernapas lega karena tidak akan mendengar kabar buruk bahwa anaknya tidak lulus sekolah. Bahkan para murid pun sudah pasti senang mendengar berita perubahan ini.
Babe saya orang kelahiran tahun 55, dan menurut Babe, kualitas pendidikan *bukan dari isi materi dan teknologi* jauh lebih baik dulu. Dimana sistem tidak membunuh daya kreativitas guru dan murid.
Lalu kemudian saya menimpali ketidaksetujuannya tersebut dengan pernyataan “ Tapi kan, Be..masa kita udah belajar banyak hal, hasil ujiannya cuma diukur dari nilai tiga mata pelajaran aja? Ngga adil dong?” Begitu pernyataan yang saya lontarkan untuk dapat lebih jauh memahami pola pikir Babe.
Ternyata menurut Babe, dengan sistem yang dibuat sekarang ini, justru akan membuat anak belajar untuk tidak menerima kenyataan.
Kenapa begitu?
Karena, dengan adanya sistem perpaduan antara nilai ujian nasional dan juga nilai ujian sekolah akan memungkinkan dari pihak sekolah untuk membantu “mendongkrak” nilai murid yang membutuhkan untuk lulus, dan juga demi yang disebut “kredibilitas” sekolah yang dilihat pada jumlah banyaknya murid yang mampu diluluskan tiap tahunnya, membuat ujian nasional tidak lagi mampu menjadi filter atau bahan pertimbangan untuk siswa mampu menapaki jenjang yang lebih tinggi atau tidak.
Dalam hal bahwa hasil ujian nasional memang bukan hasil akhir untuk menilai kepandaian seseorang, Babe saya sependapat dengan saya. Tapi dengan menghilangkan atau mengurangi porsinya juga dikatakan tidaklah cukup tepat.
“Kalau tidak lulus, ya mengulang lagi. Kenapa harus takut mengulang sekolah? Anak harus berani menghadapi kenyataan bahwa mereka perlu belajar lagi, memperbaiki keadaan, dan mencoba lagi. Dengan begitu anak jadi tahu apa arti berusaha keras, belajar dengan baik.”
“Kan malu Be kalo ngulang sekolah lagi sampai tahun depannya. Bodoh dong Be berarti”, celetuk saya.
“Nah, justru itu yang harus diubah. Pandangan orang bahwa tidak lulus itu berarti bodoh. Siapa bilang? Zaman Babe dulu yang ngga lulus ya mengulang, ngga masalah. Berarti murid memang harus belajar lagi dan berusaha untuk menerima kenyataan dan memperbaiki kesalahan dan kelemahan. Karena itu, pandangan itu yang harus diubah, bukan ujian nasionalnya yang lantas dipersalahkan. JAdi zaman dulu itu ngga lulus ya biasa, berarti mengulang lagi. Dengan begitu murid dan guru juga sama-sama berusaha untuk meningkatkan kualitas diri.”
“Itu tahun kapan Be?”
“Sebelum zaman Orde Baru”
“Trus setelahnya?” Saya penasaran.
“Ya pas zaman Orde Baru sistem pendidikan diubah. Semua diluluskan. Tidak ada yang tidak lulus. Yang terjadi malah semua orang terlena, dan begitu sistem mulai diubah dengan adanya standarisasi mulai kalang kabut semuanya. Menuntut ini menuntut itu. Lha mau cari ilmu apa cuma mau sekedar dapet ijazah lulus.” Babe pun bangga karena zamannya dulu orangnya jauh lebih pintar—mungkin si Babe bermaksud secara langsung untuk bilang kalau Babe ini pintar—hehehe tapi anyway, Babe memang cerdas dan kritis. Saya mengakui sebagai partner mengobrol, bukan karena beliau ini Bapak saya.
“Lha Be, sekarang kan biaya sekolah mahal. Kalau ngga lulus, musti cari duit banyak lagi buat biaya sekolah.” Timpal saya.
“Lha itu tugas pemerintah. Bagaimana caranya membiayai biaya pendidikan untuk siswa-siswa yang memang belum bisa lulus. Ya kalau pemerintah memang benar-benar pengen membuat anak-anak bangsanya cerdas,sih. Babe kan Cuma bisa ngomong. “ Pernyataan Babe membuatku cengar-cengir.
“Babe ini kayak ngga tahu kalau di Indonesia ini terjadi ketimpangan pendidikan juga di seantero Indonesia, antara satu daerah dengan daerah lainnya.”
“Lhoh bukannya malah aneh kalau outputnya ngga sama.Bukannya sekarang ini sistem pendidikannya dibuat dengan basis paket. Makanya berarti ada hal-hal rancu yang mustinya diperhatikan oleh pemerintah. Bisa dengan membuat standar lulusnya ngga usah naik tiap tahun , dengan training teruji untuk guru-guru kemudian guru disebarkan ke seluruh pelosok negeri dengan honor/gaji yang layak sesuai dengan tingkat kesulitan, ada saat-saat tertentu di kurikulum yang membebaskan murid dan guru untuk berkreativitas bukan kejar target karena harus lulus ujian nasional. Kayak zaman dulu itu malah bagus, ditambah dengan teknologi sekarang yang canggih, kan seharusnya bisa jadi makin lebih baik. Aneh. Anggaran pemerintah untuk pendidikan kan lumayan banyak sebenarnya.”
“Makin turun daerah, makin dikit Be. Kepotong buat biaya lain-lain.” Saya menceplos tanpa aling-aling.
“Husss…nanti kalau kedengeran orang “atas” gimana?”
“Ya laporin ke twitter, facebook, milist Be. Kan malah lebih aman. Lebih bisa melindungi dan membela. Juga memihak pada yang benar-benar memang benar daripada ma aparat yang selalu mencari evidence dulu. Lha evidence/bukti itu bisa direkayasa dengan mudah Be sekarang ini. Orang sudah jauh lebih pandai untuk merekayasa ya Be…” Saya bertopang dagu.
“Be, kok Babe ngga jadi petinggi aja sih Be?” tanyaku usil.
“Babe ngga punya duit banyak, boro-boro jadi petinggi, buat beli bensin mobil aja Babe susah.” Sindir Babe.
Saya tersenyum, manggut-manggut. Saya bergegas membereskan piring-piring kotor dan membawanya ke dapur. Pembicaraan yang bermula dari ujian nasional, meluas hingga akhirnya berujung pula pada betapa dahsyatnya kekuasaan, harga diri yang tinggi, dan tentunya tentang uang.
Saya jadi teringat pada pesan singkat sahabat saya tempo hari yang menyemangati saya.
Kata dia, ijazah itu hanyalah selembar kertas. Pendidikan yang sebenarnya itu ada di dalam diri kita sendiri. Malahan dia bilang dia sempat melihat dan bertemu dengan universitas atau sekolah-sekolah yang justru tidak menghasilkan manusia berijasah, tapi justru menghasilkan manusia mendiri yang tidak menjadikan titel sebagai tujuan.
Jadi siapa pun Anda, bagaimanapun keadaan Anda sekarang, hadapilah kenyataan, beranilah menghadapi kenyataan, dan berjuang keraslah untuk menjadi manusia yang mandiri dan punya pribadi. Tidak peduli Anda punya gelar atau tidak, lulus sekolah atau tidak, karena Anda punya kesempatan yang sama besar untuk menjadi pribadi yang baik, mandiri, cerdas, dan tangguh.
Salam,
Semilir
P.S. thanks to my Babe, and My beloved Friend’ taufiq’
Semoga pendidikan Indonesia mampu melahirkan pribadi-pribadi unggul, tangguh dan mandiri bukan hanya sekedar berapa banyak gelar yang berhasil tercetak di lembaran kertas berjudul “Kartu nama”
Komentar
Posting Komentar