ALANG LIAR
Hari ini pikiranku terbang kemana-mana. Tanpa jeda. Seolah dunia itu hanya selembaran kertas berpetak yang luasnya tidak seberapa. Kuyakini saja seperti itu. Pikiran bercabang ternyata tidak selamanya buruk, begitu yang kurasakan.Hanya saja, bikin otak cepat mati beku.
Andai raga ini mampu membelah diri menjadi beberapa bagian seperti halnya bakteri ato amoeba mungkin kisah hari ini akan berbeda. Tapi apa iya sedemikian murahnya hidup hingga mau saja bertukar kehidupan dengan mahkluk yang tidak bisa terlihat tanpa bantuan alat tersebut? Apa iya itu artinya aku haruslah bersyukur dan menerima saja semua hal ini tanpa protes, karena masing-masing manusia memiliki proses yang naik-turun dan rumit untuk dihadapi. Benarkah setiap kesedihan akan terbayar dengan kebahagiaan setelahnya, dan berlaku juga sebaliknya? Wow, sungguh luar biasa! Selalu ada saja hal yang dibayar sesudahnya. Ada akibat, ada sebab. Hidup pun menjadi penuh dengan tawar-menawar. Adegan demi adegan dilakukan demi bayaran sesudahnya.
Tunggu,tunggu…..memangnya siapa aku ini, seenak jidat memetamorkan kehidupan. Tidak hanya bakteri ataupun amoeba,manusia pun sama hinanya untuk saling mencela.
Aku hanya semakin melihat hampir lebih dari separuh pemandangan yang di depan mata adalah permasalahan manusia menghadapi kebutuhannya, yang selalu bertambah, tiada habisnya. Berkejaran dengan waktu,karier, kesempatan, pencapaian, dan tentu saja semua hal itu adalah karena masalah kebutuhan.
Terkadang aku berpikir, uang itu bisa menjadi jahat sekali ya. Ketika dia mampu merampas waktu yang kita miliki bersama dengan orang-orang yang kita kasihi. Ketika hanya dengan memilkinya kita mampu mengubah dunia serasa jadi milik kita. Lantas bagaimana dengan yang tidak memilikinya? Tidak selamanya jahat memang, mungkin aku saja yang berlebihan. Tapi apapun itu, sekilas aku tahu, bahwa ada harga mahal yang lagi-lagi harus dibayar untuk bisa mendapatkan “benda” itu, entah apapun alasan kebutuhannya. Aku sebenarnya penasaran, siapa sih awal mula pencetus ide mata uang ini? Siapa sih yang membuat dirinya menjadi Pengatur Ekonomi Pasar Dunia?Kenapa tidak hidup macam barter saja seperti zaman purba dulu. Dunia damai dan tentram itu yang bagaimana?Yang seperti apa? Itu saja yang jadi pertanyaanku sepanjang tulisan ini kutarikan. Apakah hanya orang-orang yang realistis saja yang memang benar, melihat dengan kacamata pandangnya bahwa dunia damai tentram itu adalah mustahil dan khayalan. Sungguhkah itu?
Akh, obrolan ini jadi ngelantur kemana-mana. Dunia sudah gelap-terang. Tapi, masih banyak yang berlindung di bawah remang-remang. Mencari remang-remang bukan urusan gampang. Karena remang-remang selalu saja bikin gamang. Lebih baik aku menjadi alang-alang saja, selalu hidup penuh kebebasan.Tak takut matahari, tak takut diinjak, tak takut mati. Hidup apa adanya, sambil berteman dengan semibrit angin. Sungguh, sepertinya itulah damai yang kucari.
Semilir, Wed, 29 Agustus 2012
dongeng Si Gajah dan Si Badak April 14th, 2008 Suatu hari di sebuah hutan belantara tampaklah seekor gajah yang berbadan besar dengan belalai panjangnya sedang bercengkrama dengan seekor badak. Si Badak terpesona melihat dua gading gajah yang membuat Si Gajah makin terlihat gagah. Kemudian Si Badak bertanya " Jah…Gajah…kok kamu bisa punya sepasang cula yang hebat begitu bagaimana caranya tho?…kamu terlihat semakin gagah saja". Lantas dengan bangga Si Gajah pun bercerita tentang puasa tidak makan tidak minumnya selama 80 hari. Berkat puasa itulah Si Gajah bisa mendapatkan cula yang hebat seperti yang Badak lihat sekarang. Akhirnya karena Si Badak juga ingin tampil gagah, dia pun mulai menjalani puasa 80 harinya seperti yang Si Gajah lakukan. Seminggu kemudian…… "Ahhh…enteeeeeng…." Badak sesumbar. Dua minggu berikutnya…… Si BAdak mulai sedikit lemas, dia masih bertahan meski rasa lapar, rasa haus kian menghantuinya. Dia iri melih
Komentar
Posting Komentar