Langsung ke konten utama

Ujung dan Pangkal

Mungkin setelah pertemuan manis kita tadi malam,kau bergumul dengan asap-asap rokokmu. Kali ini, sepertinya kau butuh tak cukup sebungkus, Sayang. Pikiranmu berjalan ke tengah bertemu pada sebuah persimpangan. Persimpangan itu sama-sama membuatmu berarti, dalam porsi yang beda memang. Tapi membuat duniamu sama berwarnanya. Meski dia mungkin lebih suka beri warna violet sementara aku warna-warna primer yang pun bisa kau olah menjadi warna favoritmu. Aku tidak yakin malam ini kantuk mampu mengganggumu. Rasa-rasanya, rasa kantuk yang kau perlihatkan tadi hanyalah cara anggun untuk mengatakan padaku bahwa kamu ingin segera beristirahat dan sebaiknya aku segera pulang.

Aku tahu, cintamu yang begitu besar untuknya membuatmu takut untuk menyakitiku. Tapi bukankah, masing-masing dari kita semua tak pernah mengenal definisi cinta yang sebenarnya. Tidak aku, tidak juga kamu. Mungkin juga definisi cinta dalam pikiran kita ini pun tak sama, tapi sejak kapan pikiran punya hak paling besar untuk memutuskan tetek bengek urusan ini? Bukankah rasa yang punya andil paling besar, dan yang paling jujur? Tidakkah kau mengerti, aku ini nyata ada. Untukmu.

Rasanya ingin kembali ke masa kecil, masa di mana harga cinta masih dibayar dengan percaya akan rasa. Hanya itu. Tidak ada kepentingan atau maksud. Tidak ada kesepakatan ataupun kompromi. Tidak peduli dengan apa yang disebut beda, apa yang disebut sama. Apakah pantas atau sebaliknya. Hanya percaya akan rasa. Mungkin itu juga yang membuatku masih seperti anak kecil yang senang bermain dengan air talang ketika hujan turun. Tak pikirkan basah, tak peduli air kotor, tak gubris meski keesokan harinya terserang demam. Tapi menjadi anak kecil yang seperti itu, sungguh sangat bahagia.Rasa dua anak manusia, salahkah?

Aku tahu kamu mengerti, Sayang.

Aku tak ingin paksakan rasamu. Itu kamu yang punya.
Di sini, aku ingin menunggu kau bangun, menggenggam tanganmu erat dan penuhi dengan rasamu, rasaku. Itu saja. Begitu sederhana.

Aku tak menepis rumit, ini memang tak mudah. Aku hanya percaya ini semua bisa dilewati. Entah bagaimana nanti.

Percayakan saja pada Sang Hidup. Dia yang punya jawaban. Tidak aku, tidak kamu. Kita ini hanyalah bagian kecil, seorang pemain dalam sebuah babak-adegan kehidupan.

Tak usah kau paksakan. Percaya saja akan rasamu, rasaku. Itu sudah cukup.

Kau mengerti kan, Sayang?


Semilir,
Rabu, 23 Juni 2010
pagi hari.

Komentar

  1. sandraaa....ini tentang apa? kok kayaknya sendu sekali :)

    BalasHapus
  2. Pernah aku mengalami hal serupa ..
    ahhh tapi sudahlah itu masa laluku tidak perlu diusik lagi,biarlah menjadi kenangan yang sedikit memilukan,tapi jadi bagian hikmah kehidupan.

    Apakah ini kisah nyata Sandra?
    Kenapa tidak dipanjangkan lagi ceritanya,aku tidak sabar ingin membaca cerita ini selanjutnya,bikin dag dig dug..

    BalasHapus
  3. @anggit: Hahahahahha tentulah kisah nyata.....dari yang kulihat dan kudengar..^^

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

dongeng Si Gajah dan Si Badak

dongeng Si Gajah dan Si Badak April 14th, 2008 Suatu hari di sebuah hutan belantara tampaklah seekor gajah yang berbadan besar dengan belalai panjangnya sedang bercengkrama dengan seekor badak. Si Badak terpesona melihat dua gading gajah yang membuat Si Gajah makin terlihat gagah. Kemudian Si Badak bertanya " Jah…Gajah…kok kamu bisa punya sepasang cula yang hebat begitu bagaimana caranya tho?…kamu terlihat semakin gagah saja". Lantas dengan bangga Si Gajah pun bercerita tentang puasa tidak makan tidak minumnya selama 80 hari. Berkat puasa itulah Si Gajah bisa mendapatkan cula yang hebat seperti yang Badak lihat sekarang. Akhirnya karena Si Badak juga ingin tampil gagah, dia pun mulai menjalani puasa 80 harinya seperti yang Si Gajah lakukan. Seminggu kemudian…… "Ahhh…enteeeeeng…." Badak sesumbar. Dua minggu berikutnya…… Si BAdak mulai sedikit lemas, dia masih bertahan meski rasa lapar, rasa haus kian menghantuinya. Dia iri melih...

Sebuah esai tentang kebudayaan bersifat simbolik

Di sebuah stasiun TV Swasta terlihat ada sebuah penayangan mengenai kehidupan sebuah suku yang masih kental dengan keprimitifannya. Sebut saja salah satu suku di Afrika. Tampak di sana sekelompok manusia berpakaian seadanya, sedang duduk mengelilingi api unggun. Kepala suku mereka sedang menceritakan kepada anggota kelompoknya yang lain, menceritakan mengenai sebuah batu yang tiba-tiba saja terlempar dari arah gunung berkapur hingga hampir membuatnya celaka, hingga detik itu juga dia, selaku kepala suku di sana menyatakan bahwa benda tersebut adalah ‘benda jahat atau benda setan’. Simbol tersebut dia gunakan sebagai bentuk kekhawatirannya terhadap anggota kelompoknya yang lain, sehingga mendorong agar anggota yang lain selalu waspada. Bentuk pengungkapan itu membudaya dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Hingga kemudian manusia menjadi lebih pandai dan cerdas hingga benda yang disebut-sebut sebagai benda jahat itu hanyalah sebuah bongkahan batu yang secara tidak sengaja terlempa...

SANGIRA

Sangira Sang, Hujan mau datang lagi. Sudikah kiranya dirimu antarku pulang? Sang, kukecilkan pakaian-pakaian longgarmu, ambillah, sudah kutaruh di almari. Aku mau pulang, Sang. Aku tidak bisa berlama-lama lagi di sini. Di tempat ini. Aku takut, Sang. Tempat ini sudah sangat berbeda, kita tidak bisa lagi main-main dengan Hujan seperti dulu. Masih ingatkah engkau pada bunyi kecipak-cipak air yang main lompat di kubangan lumpur, Sang? Aku rindu. Aku mau pulang, Sang…. Seperti memang sudah berjodoh, aku bertemu lagi dengan laki-laki berkemeja garis-garis biru yang kemarin aku temui di sebuah toko kue. Dia tengah kebingungan mencari sebuah kue ulang tahun yang katanya untuk seseorang yang spesial. Untuk pacarnya kurasa. Tapi siapapun perempuan itu sudah pasti dia beruntung sekali. Bagaimana tidak, laki-laki itu terlihat begitu sangat perhatian, peduli, dan rasa sayang yang diperlihatkan pada muka bingungnya ketika mencari kue ulang tahun yang pas untuk seseorang istimewanya itu membuatk...