Langsung ke konten utama

Padang Merah Hati

Sebuah petunjuk. Perenungan ini makin terasa mendalam. Semua serba pas. Kau hadir di tengah keraguan dan kegamangan. Rupa-rupanya semua tidak harus selalu ada jawabnya, tidak harus ada maksud untuk setiap kejadian. Aku tak lagi ingin menangis. Tidak hari ini.

Setiap inchi rasamu mulai tumbuh. Kubenamkan diri dalam kasur yang lapuk. Imajinasi membumbung tinggi, ingin sekali kuhentikan, siapa tahu nanti jadi kebablasan dan tertiup angin di tengah riuhnya pikuk dan sibuk.

Dua sejoli, beradu manis-pahit rasa tembakau, di antara kepulan putih asap rokok saling bersirobok.

Desing desau memekakkan telinga, membuat debar jantung jadi makin cepat. Aku tahu kamu peduli.

Ingin menjadi sebuah sinar terang yang tidak menyilaukan, yang cahayanya bisa diatur sedemikian rupa, agar ku tak membuat matamu jadi sakit, tak membuat langkahmu jadi terhenti. Hangat. Aku ingin menjadi sinar yang hangat. Sinar berpendarnya tak membuat gamang, tak juga remang.

Sebuah petunjuk. Datang membawa arak-arakan bak pawai di musim penghujan. Basah, bunyi kecipak-cipak, air lumpurnya muncrat ke mana-mana. Emosi yang meledak, tertuang dalam sepasang sepatu boot anti air penuh guratan lumpur. Tak mungkin meloncat ke dalam genangan tanpa membuat riak dan membuat air di sekitarnya bersorak.

Lucu. Dua sejoli kini termangu. Pandangan beradu, mulut terkunci, terduduk dalam sebuah ruang tak berpintu. Dalam diam hati mereka berbicara, dalam sorai mereka memendam rasa. Luar biasa, bahkan bisikan pun tak mampu mereka ucapkan.

Warna-warni. Kotak kaca itu membiaskan cahaya warna-warni, cukup menyilaukan, tapi masih bisa diatasi, asal tak sampai buat retak cermin. Warna-warnanya berani, beradu sengit di udara, berlomba untuk menjadi yang paling lama bertahan menjadi penghias langit keemasan senja, sore ini. Meski masih ada sisa-sisa mendung menggantung, selepas hujan turun.

Ada kamu, ada aku, ada dua sejoli yang menikmati kisah ini. Sore ini, di padang merah hati.

Semilir,
Selasa, 8 Juni 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

dongeng Si Gajah dan Si Badak

dongeng Si Gajah dan Si Badak April 14th, 2008 Suatu hari di sebuah hutan belantara tampaklah seekor gajah yang berbadan besar dengan belalai panjangnya sedang bercengkrama dengan seekor badak. Si Badak terpesona melihat dua gading gajah yang membuat Si Gajah makin terlihat gagah. Kemudian Si Badak bertanya " Jah…Gajah…kok kamu bisa punya sepasang cula yang hebat begitu bagaimana caranya tho?…kamu terlihat semakin gagah saja". Lantas dengan bangga Si Gajah pun bercerita tentang puasa tidak makan tidak minumnya selama 80 hari. Berkat puasa itulah Si Gajah bisa mendapatkan cula yang hebat seperti yang Badak lihat sekarang. Akhirnya karena Si Badak juga ingin tampil gagah, dia pun mulai menjalani puasa 80 harinya seperti yang Si Gajah lakukan. Seminggu kemudian…… "Ahhh…enteeeeeng…." Badak sesumbar. Dua minggu berikutnya…… Si BAdak mulai sedikit lemas, dia masih bertahan meski rasa lapar, rasa haus kian menghantuinya. Dia iri melih...

Sebuah esai tentang kebudayaan bersifat simbolik

Di sebuah stasiun TV Swasta terlihat ada sebuah penayangan mengenai kehidupan sebuah suku yang masih kental dengan keprimitifannya. Sebut saja salah satu suku di Afrika. Tampak di sana sekelompok manusia berpakaian seadanya, sedang duduk mengelilingi api unggun. Kepala suku mereka sedang menceritakan kepada anggota kelompoknya yang lain, menceritakan mengenai sebuah batu yang tiba-tiba saja terlempar dari arah gunung berkapur hingga hampir membuatnya celaka, hingga detik itu juga dia, selaku kepala suku di sana menyatakan bahwa benda tersebut adalah ‘benda jahat atau benda setan’. Simbol tersebut dia gunakan sebagai bentuk kekhawatirannya terhadap anggota kelompoknya yang lain, sehingga mendorong agar anggota yang lain selalu waspada. Bentuk pengungkapan itu membudaya dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Hingga kemudian manusia menjadi lebih pandai dan cerdas hingga benda yang disebut-sebut sebagai benda jahat itu hanyalah sebuah bongkahan batu yang secara tidak sengaja terlempa...

SANGIRA

Sangira Sang, Hujan mau datang lagi. Sudikah kiranya dirimu antarku pulang? Sang, kukecilkan pakaian-pakaian longgarmu, ambillah, sudah kutaruh di almari. Aku mau pulang, Sang. Aku tidak bisa berlama-lama lagi di sini. Di tempat ini. Aku takut, Sang. Tempat ini sudah sangat berbeda, kita tidak bisa lagi main-main dengan Hujan seperti dulu. Masih ingatkah engkau pada bunyi kecipak-cipak air yang main lompat di kubangan lumpur, Sang? Aku rindu. Aku mau pulang, Sang…. Seperti memang sudah berjodoh, aku bertemu lagi dengan laki-laki berkemeja garis-garis biru yang kemarin aku temui di sebuah toko kue. Dia tengah kebingungan mencari sebuah kue ulang tahun yang katanya untuk seseorang yang spesial. Untuk pacarnya kurasa. Tapi siapapun perempuan itu sudah pasti dia beruntung sekali. Bagaimana tidak, laki-laki itu terlihat begitu sangat perhatian, peduli, dan rasa sayang yang diperlihatkan pada muka bingungnya ketika mencari kue ulang tahun yang pas untuk seseorang istimewanya itu membuatk...