Sebuah petunjuk. Perenungan ini makin terasa mendalam. Semua serba pas. Kau hadir di tengah keraguan dan kegamangan. Rupa-rupanya semua tidak harus selalu ada jawabnya, tidak harus ada maksud untuk setiap kejadian. Aku tak lagi ingin menangis. Tidak hari ini.
Setiap inchi rasamu mulai tumbuh. Kubenamkan diri dalam kasur yang lapuk. Imajinasi membumbung tinggi, ingin sekali kuhentikan, siapa tahu nanti jadi kebablasan dan tertiup angin di tengah riuhnya pikuk dan sibuk.
Dua sejoli, beradu manis-pahit rasa tembakau, di antara kepulan putih asap rokok saling bersirobok.
Desing desau memekakkan telinga, membuat debar jantung jadi makin cepat. Aku tahu kamu peduli.
Ingin menjadi sebuah sinar terang yang tidak menyilaukan, yang cahayanya bisa diatur sedemikian rupa, agar ku tak membuat matamu jadi sakit, tak membuat langkahmu jadi terhenti. Hangat. Aku ingin menjadi sinar yang hangat. Sinar berpendarnya tak membuat gamang, tak juga remang.
Sebuah petunjuk. Datang membawa arak-arakan bak pawai di musim penghujan. Basah, bunyi kecipak-cipak, air lumpurnya muncrat ke mana-mana. Emosi yang meledak, tertuang dalam sepasang sepatu boot anti air penuh guratan lumpur. Tak mungkin meloncat ke dalam genangan tanpa membuat riak dan membuat air di sekitarnya bersorak.
Lucu. Dua sejoli kini termangu. Pandangan beradu, mulut terkunci, terduduk dalam sebuah ruang tak berpintu. Dalam diam hati mereka berbicara, dalam sorai mereka memendam rasa. Luar biasa, bahkan bisikan pun tak mampu mereka ucapkan.
Warna-warni. Kotak kaca itu membiaskan cahaya warna-warni, cukup menyilaukan, tapi masih bisa diatasi, asal tak sampai buat retak cermin. Warna-warnanya berani, beradu sengit di udara, berlomba untuk menjadi yang paling lama bertahan menjadi penghias langit keemasan senja, sore ini. Meski masih ada sisa-sisa mendung menggantung, selepas hujan turun.
Ada kamu, ada aku, ada dua sejoli yang menikmati kisah ini. Sore ini, di padang merah hati.
Semilir,
Selasa, 8 Juni 2010
Setiap inchi rasamu mulai tumbuh. Kubenamkan diri dalam kasur yang lapuk. Imajinasi membumbung tinggi, ingin sekali kuhentikan, siapa tahu nanti jadi kebablasan dan tertiup angin di tengah riuhnya pikuk dan sibuk.
Dua sejoli, beradu manis-pahit rasa tembakau, di antara kepulan putih asap rokok saling bersirobok.
Desing desau memekakkan telinga, membuat debar jantung jadi makin cepat. Aku tahu kamu peduli.
Ingin menjadi sebuah sinar terang yang tidak menyilaukan, yang cahayanya bisa diatur sedemikian rupa, agar ku tak membuat matamu jadi sakit, tak membuat langkahmu jadi terhenti. Hangat. Aku ingin menjadi sinar yang hangat. Sinar berpendarnya tak membuat gamang, tak juga remang.
Sebuah petunjuk. Datang membawa arak-arakan bak pawai di musim penghujan. Basah, bunyi kecipak-cipak, air lumpurnya muncrat ke mana-mana. Emosi yang meledak, tertuang dalam sepasang sepatu boot anti air penuh guratan lumpur. Tak mungkin meloncat ke dalam genangan tanpa membuat riak dan membuat air di sekitarnya bersorak.
Lucu. Dua sejoli kini termangu. Pandangan beradu, mulut terkunci, terduduk dalam sebuah ruang tak berpintu. Dalam diam hati mereka berbicara, dalam sorai mereka memendam rasa. Luar biasa, bahkan bisikan pun tak mampu mereka ucapkan.
Warna-warni. Kotak kaca itu membiaskan cahaya warna-warni, cukup menyilaukan, tapi masih bisa diatasi, asal tak sampai buat retak cermin. Warna-warnanya berani, beradu sengit di udara, berlomba untuk menjadi yang paling lama bertahan menjadi penghias langit keemasan senja, sore ini. Meski masih ada sisa-sisa mendung menggantung, selepas hujan turun.
Ada kamu, ada aku, ada dua sejoli yang menikmati kisah ini. Sore ini, di padang merah hati.
Semilir,
Selasa, 8 Juni 2010
Komentar
Posting Komentar