Madu-Racun
Begitulah, bahkan diantara madu dan racun bisa jadi sebuah kesatuan yang unik. Tidak membunuh karakter satu sama lain, justru kadang-kadang perpaduan diantara keduanya bagai obat. Penyembuh bagi Si Sakit, penenang bagi Si Khawatir.
Madu, begitu aku selalu memanggilnya
Racun, begitu kamu sering memanggilku
Malam ini, kami berdua kembali bercengkrama. Sampai pagi seperti biasanya yang kami lakukan. Hanya saja atmosfir kali ini terasa berbeda. Kedamaian. Hanya itu. Meski sesekali air mata sudah mendesak untuk unjuk diri. Tapi entahlah, aku merasa jeda yang mungkin akan ada ini bukanlah sesuatu yang perlu kukhawatirkan, aku merasa kamu masih ada di dekatku. Tidak pergi jauh. Terserah juga kalau akunya yang terlalu pede. Aku hanya bisa sumeleh, Madu. Aku hanya bisa beri kau rasaku.
Aku jadi geli mengingat pembicaraanmu, Madu. Kamu bilang gawat yang akan menjadi suamiku, karena mungkin dia cuma akan kuberi makan nasi teri setiap hari karena aku ini begitu sangat mengirit, dan lebih mementingkan kepentingan orang lain yang lebih membutuhkan. Hahahahhahaha….aku terbahak, Madu sungguh aku terbahak.
Tidak seperti itu juga, aku berusaha menjalani semuanya sesuai kebutuhan dan porsi, dengan tidak memaksakan diri. Barang-barang yang kau sebutkan saat ini belumlah terlalu penting. Aku masih bisa menahan diri untuk tidak membelanjakan uangku ke toko buku, tempat favoritku. Masih bisa menahan diri untuk tidak membeli baju-baju yang katamu lebih fashionable dan tidak jadul. Inilah yang kumaksud raga itu menuntut, raga itu kadang membuat sulit karena kebutuhannya terlampau banyak, sementara keinginanku hanyalah ingin bisa menyeimbangkan antara kebutuhan jiwa dan ragaku. Saat ini aku sedang belajar, Madu. Sedang belajar untuk tidak meracuni diri sendiri dengan racun dalam diriku. Pemenuhan ragaku tidaklah boleh timpang dengan Jiwa. Mereka harus bisa selaras, kalau tidak, damai tak mau bertandang. Saat ini aku masih timpang. Bahkan aku pun masih belum tahu di sisi mana yang lebih berat atau yang lebih harus dioptimalkan. Mungkin sisi dua-duanya. Kiri-kanan, baiknya seimbang.
Olah jiwa, olah rasa. Akh.., dan olah raga juga tidak kulupa.
Celetukanmu buatku lagi-lagi tertawa, kau bilang bahwa kalau aku punya anak aku tidak akan pernah mengganti seragam sekolah mereka dengan seragam baru begitu mereka naik ke jenjang yang lebih tinggi. Aku akan tetap memakaikan mereka seragam lama karena seragamnya belumlah usang dan mungkin masih bisa dipakai. Hahahahhahahahha…Madu…madu…sebegitunya kau menilaiku. Aku tidaklah sepelit Paman Gober, tidak juga sehemat Si Botak Hagemaru.
Tenang saja Madu, aku akan memperkaya keahlian memasakku. Akan kumasakkan menu istimewa setiap harinya. Dan akan kutulis selembar kertas bertuliskan kata-kata “Aku menyayangimu” setiap harinya dan kutempelkan itu di dalam loker hatimu yang mungkin memang masih tertutup tapi tahukah kau? Celah ventilasi di lokermu yang biasanya untuk lewat angin masih memberikan ku kesempatan untuk menyelipkan selembar kertas itu ke dalamnya.
Terimakasih telah memberikanku kesempatan untuk menjadi Racun dalam dirimu, dan memberiku kesempatan untuk menjadikanmu Madu dalam hidupku.
Bagaimana pun nanti endingnya, Madu, kita pada akhirnya akan berkolaborasi menjadi duet maut atau tidak, kuyakinkan bahwa mempercayai skenario hidup pada Sang Pemilik Kehidupan dalam diri pasti hasilnya adalah sebaik-baiknya dari yang baik.
Aku saat ini sedang bersiap Madu, untuk menjadi Racun yang tidak meracunimu nantinya jika aku melompat kegirangan ke dalam pelukmu. Tidak ingin menjadi racun ketika kau sedang bersedih hati dan diliputi Si Bimbang.
Dan saat ini aku sedang mempersiapkan diri untuk berlari dan melompat ke dalam pelukmu. Mungkin jika saat itu memang ada.
Mungkin memang kan ada.
Semilir,
Kamis 30 September 2010
pasti ada jalan ko de.. shirotolmustaqim QS Al-Fatihah,... dan loncatlah kegirangan :-)
BalasHapus