Langsung ke konten utama

Cerita Tentang Satu Hari

Cerita Tentang Satu Hari

Aku ingin berbagi cerita padamu, kali ini. Meski cuma sehari.
Baiklah, sepertinya cukup untuk hari ini. Hari kita bersantap ria kudapan yang ada di hadapan. Meski hanya sekedar sebatang coklat dan keripik kentang, tapi lumayanlah untuk mengganjal perut. Atau paling tidak kita harus berterimakasih pada kudapan ringan itu, karena telah berhasil membuat suasana bisu menjadi riuh, karena suara berisik yang dihasilkan oleh kunyahan-kunyahan mulut kita membuat suasana menjadi seru. Paling tidak, hari ini, aku ingin kau mengenang hari ini. Yang bisa saja suatu hari nanti menjadi tidak lagi berarti atau mungkin tetap selalu menjadi misteri, yang masing-masing hanya kita yang tahu.

Semilir datang lagi, kali ini dia datang dengan senyum sumringahnya, yang membuat rerumputan berlonjakan riang dan air-air di kubangan sisa hujan semalam menjerit senang. Kamu tahu, ini kali pertama si Sunyi pergi mengembara. Ke sebuah negeri jauh, tersembunyi di antara pohon perdu. Saatnya musim berganti, saatnya semilir mulai unjuk aksi. Semarakkan suasana, hangatkan sekitar, memberi kehidupan dan nafas baru. Semilir tampak menari indah melepas bayang-bayangnya, seolah dia terlepas dari rantai besar yang mengikatnya kuat. Sunyi menghilang, Semilir bertandang. Selesaikah?

Pertanyaan demi pertanyaan, timbul-tenggelam, obrolan kerinduan membuat semua jadi makin mengabur, tak tentu arah, berakhir pada sebuah jeda. Jeda yang muncul karena hening dan senyap yang melesap. Sunyi kembali mengambil peran. Kita diam dalam sorak sorai derap haru dan senang, kita bergeming dalam sukacita pertemuan. Mulut kita tersenyum, tawa pun tak lupa ikut muncul. Tapi masing-masing kita tahu, hatimu dan hatiku memekik sedu-sedan. Tanpa jeda. Mungkin kita sebaiknya belajar memahami hati, karena dia buat kita mengerti arti sebuah kejujuran. Kejujuran yang disamarkan oleh cahaya-cahaya penghias malam. Kejujuran yang sengaja bersembunyi di balik kabut kelam, supaya mulut tetap terkunci rapat, melebur dalam diam.
Jadi apa kabarmu hari ini? Aku mendongak dan memandang ke arahmu dengan pandangan sok manis. Kemudian kau pun tergelak, melihat sikapku yang sok-sokan dibuat-buat bagai putri raja. Akh, mungkin aku akan merindukan tawamu itu. Apa kabarmu hari ini? Aku tertawa sentimentil mendengar pertanyaan ini. Sudah banyak cerita yang terlewat dari masing-masing kita. Mungkin itu yang akan kita bagi malam ini.

Entahlah. Tapi hanya kalimat “Jadi apa kabarmu hari ini?” yang memonopoli hampir seluruh percakapan kita. Itu membuatku ingin mencubitimu hingga mukamu memerah. Jadi, apa yang akan kamu bagi malam ini? Cerita tentang bulankah? Tentang sinar berpendarnya kah? Atau tentang kita? Atau kau tidak ingin bercerita tentang itu semua? Hari ini milikmu, semuanya terserah padamu.

Semilir, angin pergantian tahun, seolah ingin mengabarkan padamu akan harapan-harapan baru, pada mimpi-mimpi baru. Apapun arti esok hari, aku hanya ingin menikmati hari ini. Pertemuan denganmu, bersamamu. Hari ini. Meski hanya sehari.

Di tempat ini, rumput-rumput ilalang berbagi cerita pada kita, daunnya yang beberapa molek kuning coklat keemasan berayun pelan manjakan perasa. Kita berdua terbaring di tengahnya, tepat di tengah padang ilalang yang membentang luas. Kita kembali terdiam, menikmati cahaya bulan, bintang yang bertaburan di atas sana, dan tentu saja angin. Angin yang berbisik lirih tentang isi masing-masing hati.

“Jadi apa yang akan kau lakukan setelah ini?” Tanyaku padamu. Aku berbisik sepelan mungkin, takut membuat malam terbangun dari lelapnya.

“Melanjutkan mimpi.” Kau menjawab dan tersenyum, mengalihkan muka ke arahku kemudian setelah itu matamu menengadah tegak lurus dengan langit.

Rentang waktu tujuh tahun cukup membuat banyak hal yang berubah. Baik dariku dan juga darimu. Kita tak lagi sama. Kita telah tumbuh menjadi pohon tinggi, dengan akar kuat, batang dan ranting yang kokoh, kini kita sedang mencoba menantang dunia di luar sana, dan menaklukkannya. Masihkah engkau mengingat masa-masa pencarian jati diri kita, kala itu kita masih berseragam putih abu-abu. Saat-saat kelabilan akan banyak situasi, menjadikan cerita tersendiri. Dan tahukah, bahwa pada waktu itu kita adalah dua sosok makhluk yang begitu naif. Apa benar dunia sedang mempermainkan kita? Menguji kita? Aku angkat bahu, tanda tak tahu.
Begitu lekat, pekat dan anggun langit di atas sana. Angin malam kali ini terasa begitu bersahabat. Tidak dingin. Tidak seperti biasanya. Mungkin angin malam yang biasanya sungkan untuk hadir karena ada engkau. Senyum simpulmu adalah sebuah komentar dari pernyataanku barusan. Apakah engkau masih sama seperti yang kutahu dulu? Apakah engkau masih suka menulis tentang kejujuran hatimu? Apakah engkau masih mengenaliku, sama seperti dulu? Akh, sayangnya aku kini telah banyak berubah. Anak-anak semilir menyibakkan rambutku yang kini memanjang. Yang mulai dengan nyaman kubawa kesana kemari, temaniku. Sepertinya aku sudah mulai betah untuk tampak layaknya perempuan. Hanya saja aku masih membutuhkan bantuan tukang cat wajah, mungkin.

Akh, kau kembali tertawa. Ini adalah tawa keduamu.

Sayangnya, kau lebih banyak diam malam ini. Mungkin karena kau ingin mendengar lebih jelas betapa merdunya suara semilir yang bertandang, yang membuat dedaunan berisik, dan ilalang bergoyang menari, sambut nyanyian alam. Aku tidak tahu apa yang ada dalam benakmu, tapi aku cukup mengenalmu, jadi kurasa aku bisa menebak apa yang membuat dahimu tiba-tiba berkerut. Kamu sedang memikirkan benar-salah, apa yang harus kaulakukan dan apa yang sebaiknya tidak, apa yang bisa membuat keadaan ini menjadi lebih membahagiakan buat semua, dan apa yang bisa dilakukan agar kau keluar dari perasaan sulit yang sedang kau rasakan. Dimana sebaiknya kau memposisikan diri, kanan, kiri, atau tengah? Kau mulai galau, kebingungan mencarimu.Sayangnya tidak ada pilihan yang tidak akan menyakiti. Kebahagiaan untuk semua? Yakinkah kau mampu menciptakan kebahagiaan untuk semua tanpa ada sakit, sementara saat ini kau sedang mencari arti dari bahagia itu sendiri. Mengapa engkau masih suka berlarian untuk menjaring angin?

Aku hanyalah sesosok yang sok tahu, aku sendiri sedang mencari apa itu bahagia? Seperti apa rupanya, bentuknya? Apakah akan tercium wanginya saat dia akan datang menyapa? Entahlah semua serba putih dan memucat. Aku sama sekali belum yakin benar seperti apa rasanya? Mungkin rasanya seperti ketika kita melihat ibu kita menangis bangga melihat topi kelulusan kita, atau mungkin rasanya seperti ketika kita berjumpa dengan orang yang kita kasihi, atau rasanya seperti ketika memasuki sebuah ruangan yang luasnya berhektar-hektar dan di dalamnya penuh dengan jutaan buku-buku, dan video-video menarik yang akan menjadi teman sepi, penghilang bosan, dan lelah. Seperti itukah? Atau mungkin kau punya definisi lebih baik tentang rupa bahagia.

Jadi, bagaimana itu bahagia?

Akh, Sudah, sudah, nikmati saja malam ini, hari ini. Belum tentu esok akan terulang lagi. Karena toh, sebentar lagi adalah waktuku untuk pergi. Mungkin, jika Semilir kembali bertandang, kau akan temukanku bersamanya. Saat itu bisa saja kita kembali bertemu. Entahlah. Sang Waktu yang punya hak kepemilikan atas jawabannya.
Lekat, pekat dan anggun langit di atas sana. Angin malam kali ini terasa begitu bersahabat. Tidak dingin. Tidak seperti biasanya.

Kamu tahu, pergantian tahun ini akan membawa banyak perubahan pada kita. Ini adalah saat yang tepat bagi kita untuk menjalani kehidupan masing-masing. Mencapai mimpi kita masing-masing. Waktu yang tepat untuk kembali pada pijakan kita masing-masing. Resolusi diri, refleksi diri. Kita berdua tahu, tak cukup hanya dengarkan suara gemerisik ranting mahoni atau rontoknya daun-daun, tapi kita juga mesti dengarkan hati. Jikalau si Ragu datang untuk mengganggu, enyahkan saja dia, pura-puralah tuli jika itu mampu selamatkanmu dari kegalauan.

Ada banyak cerita yang ingin kubagi denganmu, namun sayang waktuku tidak cukup banyak. Tahun berganti, itu tanda aku harus pergi, melakukan kembali perjalanan. Esok hari masih menjadi misteri, tidak ada yang akan tahu kemana semuanya akan berakhir. Kita hanya tahu kemana semua akan kembali.

Semilir sayup-sayup mulai menghilang. Gegap gempita kehadirannya pun sebentar lagi tinggal remang. Sehari bersamamu rasanya seperti baru beberapa puluh menit. Waktu begitu terasa cepat sekali berlalu, padahal tidak begini ketika aku mengerjakan soal-soal ujian dulu. Hukum relativitas kalau Einstein bilang, ternyata kurasakan kebenarannya saat ini. Dalam situasi seperti ini.

Semilir membuai dalam sebuah pemaknaan. Asal ada percaya, kemudian tanamkan itu dalam pikiran, lebur semua dalam hati. Dan tunggulah, waktu akan bertindak, melewati ribuan ruang dan dimensi yang kasat mata. Setiap hari kita berproses, melaluinya. Dan tanpa sadar kita akan lihat apa yang mampu kita wujudkan, kita dapatkan, kita ubah. Apapun, asal kita yakin, asal ada rasa percaya yang kuat, maka akan ada banyak hal yang teratasi. Aku hanya ingin kau percaya. Bukan pada keraguan yang ada dalam dirimu, tapi pada ambisimu, mimpimu, cintamu, dan hidupmu.

“Apa mimpimu?” Tiba-tiba suaramu memecah keheningan. Membuatku sedikit terkejut dengan pertanyaanmu yang spontan itu. Tapi aku senang, karena ternyata aku tidak bermonolog malam ini.

Kupandangi mukamu dengan serius, mencari Si Pasti, siapa tahu dia sedang bersembunyi. Mimpiku? Akh, terlalu banyak mimpi yang ingin kuwujudkan. Aku sempat terbata. Tiba-tiba kenyataan menamparku dengan kerasnya mengembalikan kesadaranku.
“Aku ingin menjadi ‘sesuatu’ yang berarti selama aku mampir minum kopi,” jawabku padamu. Kau pun mengangguk, tanda paham maksudku.

“Aku tahu kamu pasti bisa. Berjuanglah.” Tiba-tiba kau usap kepalaku pelan, aku terhenyak dibuatnya.

Senyummu mengakhiri pertemuan kita hari ini. Aku sadari musim telah datang ajakku pergi bersamanya. Hey, jangan kau teteskan airmata. Tenang sajalah. Kalau kau percaya suatu hari kita dipertemukan kembali, maka kita akan dipertemukan kembali. Aku semilir, ingatlah keberadaanku kala kau mendengar dedaunan berisik. Langkahku teduh seperti bau tanah basah setelah hujan. Kadangkala aku juga menemani si bening embun di saat matahari sedang mengeliat dari tidurnya. Siapa tahu ketika kau menjumpainya, kau akan temukanku juga. Aku tersenyum, melihat muka sembabmu. Aku yang seharusnya menangis, bukan kau.

Kau bangkit dari pembaringanmu, di tengah ilalang. Kau rasakan semilir berada di sekitarmu setiap saat. Kau tak melihatnya, tapi kau tahu betul kehadirannya. Tenang saja kau ini tidak sendirian.

Meski kau tidak melihat, tapi kau percaya, maka aku ada.

Semilir , 29 Desember 2009


*untuk seseorang yang akan selalu ada, terima kasih*

Komentar

  1. sis, lama aku nggak bermaya ria, eh buka ini blog dari FB mu. Ak terinspirasi, pengen lebih 'berani menjadi diri sendiri' seperti ini :_

    BalasHapus
  2. Siap sista....kamu pun pasti bisa......!! Ayo kapan kita ketemu?? kangen ni....holiwod-an aja yuuukk...^^

    BalasHapus
  3. *Dimataku Sandra Shinta Dewi adalah seorang perempuan..tidak perlu *cat wajah.. :-D

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

dongeng Si Gajah dan Si Badak

dongeng Si Gajah dan Si Badak April 14th, 2008 Suatu hari di sebuah hutan belantara tampaklah seekor gajah yang berbadan besar dengan belalai panjangnya sedang bercengkrama dengan seekor badak. Si Badak terpesona melihat dua gading gajah yang membuat Si Gajah makin terlihat gagah. Kemudian Si Badak bertanya " Jah…Gajah…kok kamu bisa punya sepasang cula yang hebat begitu bagaimana caranya tho?…kamu terlihat semakin gagah saja". Lantas dengan bangga Si Gajah pun bercerita tentang puasa tidak makan tidak minumnya selama 80 hari. Berkat puasa itulah Si Gajah bisa mendapatkan cula yang hebat seperti yang Badak lihat sekarang. Akhirnya karena Si Badak juga ingin tampil gagah, dia pun mulai menjalani puasa 80 harinya seperti yang Si Gajah lakukan. Seminggu kemudian…… "Ahhh…enteeeeeng…." Badak sesumbar. Dua minggu berikutnya…… Si BAdak mulai sedikit lemas, dia masih bertahan meski rasa lapar, rasa haus kian menghantuinya. Dia iri melih

Sebuah esai tentang kebudayaan bersifat simbolik

Di sebuah stasiun TV Swasta terlihat ada sebuah penayangan mengenai kehidupan sebuah suku yang masih kental dengan keprimitifannya. Sebut saja salah satu suku di Afrika. Tampak di sana sekelompok manusia berpakaian seadanya, sedang duduk mengelilingi api unggun. Kepala suku mereka sedang menceritakan kepada anggota kelompoknya yang lain, menceritakan mengenai sebuah batu yang tiba-tiba saja terlempar dari arah gunung berkapur hingga hampir membuatnya celaka, hingga detik itu juga dia, selaku kepala suku di sana menyatakan bahwa benda tersebut adalah ‘benda jahat atau benda setan’. Simbol tersebut dia gunakan sebagai bentuk kekhawatirannya terhadap anggota kelompoknya yang lain, sehingga mendorong agar anggota yang lain selalu waspada. Bentuk pengungkapan itu membudaya dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Hingga kemudian manusia menjadi lebih pandai dan cerdas hingga benda yang disebut-sebut sebagai benda jahat itu hanyalah sebuah bongkahan batu yang secara tidak sengaja terlempa

Langkahkan Kakimu dan Luaskan Pandanganmu

    Ada banyak kota di dunia ini yang bisa saja saya tulis dan saya rangkai untuk kemudian menjadi tokoh utama dalam tulisan ini. Sayangnya, ternyata urusan memilih kota impian itu tidak lah semudah seperti memilih baju mana yang hendak dipakai di dalam tumpukan baju yang belum disetrika. Njlimet saya tuh orangnya… :D Eropa, US, Canada, Oz, New Zealand, Egyptian, Southern Asia, hingga East Asia macam Seoul, Japan, negara dan kota yang nge-hits belakangan karena faktor serial drama-dramanya   juga tak membuat saya lantas menisbahkan mereka untuk menjadi salah satu kota yang ingin saya kunjungi. Ya seneng juga melihat beberapa teman sudah banyak yang berhasil menapaki diri ke sana, entah karena pekerjaan, karena sekolah, karena usaha kerasnya sedari dulu, karena memenangkan undian, atau yang karena dapat bonus dari usahanya mengejar poin, bahkan ada juga yang karena pasangannya horang tajir melintir, akhirnya kesempatannya untuk bisa bepergian keliling Indonesia bahkan ke lua