GADIS PUKUL SEBELAS SIANG
Seorang gadis berbaju coklat sedang duduk termenung sendirian di pojokan sebuah kedai kopi. Dia diam dan pandangannya terlihat kosong. Seperti sudah bosan hidup. Tak ada gairah dan semangat untuk menghadapi matahari yang sedang memanas siang ini. Sebuah kopi espresso , berbuih dan panas menemaninya dengan setia. Cukup aneh untuk siang bolong yang gerah seperti sekarang.
Dia diam. Menatap pada kepulan panas di hadapannya. Hanya menatap. Tak ada hasrat untuk mencicipinya, meski hanya seseruputan. Mungkin karena masih panas. Entahlah. Aneh sekali gadis itu. Paling tidak dalam penglihatanku dia terlihat tidak biasa. Ada sesuatu yang ganjil dari dirinya. Dia sendiri sadari atau tidak.
Dia mengaduk-aduk espresso-nya tanpa maksud yang jelas. Sesekali dia mengernyitkan dahi, dan tersenyum, entah karena apa. Lalu kulihat dia menitikkan air mata. Untuk gadis semanis dia, tak pantas air mata keluar dari matanya. Entah karena rasa empatiku atau memang karena rasa penasaran menggodaku aku mendatangi tempat duduknya.
“Ini…” aku sodorkan sebuah sapu tangan putih bergaris biru milikku padanya. Dia mendongakkan kepala. Memandangku dengan tatapan bingung, atau lebih tepatnya pandangan ingin tahu siapa tuan sok peduli ini.
“Makasih..” ucapnya sambil menerima sapu tanganku itu. Diusapnya air matanya hingga kering, namun semburat kesedihan masih membekas di sana. Membuatku jadi ingin sekali membuatnya tertawa. Hari ini, hanya hari ini. Kalau saja bisa. Tapi pertanyaan-pertanyaan yang berdengung di kepalaku membuatku pikir panjang. Aku ini siapanya dia sih? Cuma orang asing yang sekedar lewat, yang punya rasa penasaran berlebih. Hanya itu. Tak ada yang istimewa. Tapi aku cukup berbangga diri karena meski aku hanya orang asing yang sekedar lewat dan karena punya rasa penasaran berlebih membuatku bisa bertemu dengan seorang gadis yang menawan di sebuah kedai sederhana yang masih sepi, dengan secangkir kopi mengepul di depannya. Aku hendak pergi, kalo saja jemari lentiknya tidak menahanku untuk menemaninya menghabiskan espresso-nya.
“Kartika. Kartika Wulandari.” Gadis itu mengulurkan tangan mengajakku berkenalan.
“ Irvan. Irvan Kesuma”. Aku membalas perkenalannya. Demi kesopanan, dan itu mauku juga sebenarnya. Kartika. Nama yang mudah diingat. Dan membuatku senang karena namanya apik. Dan cantik.
Akhirnya di sinilah aku sekarang, bersama dengan seorang gadis berbaju coklat dengan kopi espresso panasnya. Kami berbincang tak tentu arah. Dia lebih banyak diam. Membuatku Si Pendiam ini kesusahan merangkai kata-kata. Sesekali dia mengangguk, sesekali dia tersenyum. Tapi dia masih saja belum bercerita untuk apa air matanya tadi berlinang. Aku mengetuk-ngetuk jemariku di atas meja. Aku kehabisan kata, kalimat. Lisanku terkunci. Biasanya dalam keadaan ini aku mati bosan. Tapi wajahnya yang cantik membuatku tak ingin menginjakkan kakiku ke tempat lain. Hanya ingin di sini. Saat ini dan seterusnya. Akhirnya kuberanikan diriku untuk bertanya. Aku penasaran.
“Wajahnya samar terlintas di ingatanku. Aku seperti pernah secara kabur melihatnya. Tapi, dimana ya?” pertanyaan itu mengusik pikiranku. Aku bergumul dengan asumsiku dan bergulat dengan ingatanku. Namun, nihil. Aku tidak menemukan apapun. Aku menghela nafas. Menyerah.
“Kenapa menghela nafas panjang seperti itu? Ada yang salah?”. Akhirnya, untuk sesaat aku berterimakasih pada ketidakbecusan ingatanku. Karena dengan itu aku mampu membuatnya berbicara. Membuatnya bertanya. Mengusik rasa keingintahuannya.
“Akh..tidak. Aku sedang berusaha mengingat sesuatu. Tapi sepertinya aku sedang terserang amnesia.” Aku menggaruk-garuk kepalaku yang ngga sama sekali gatal. Dan sepertinya hal itu tampak lucu baginya. Karena dia memamerkan padaku tawa renyahnya. Dia tertawa. Dia tertawa.
“Kenapa ketawa? ada yang salah?” Aku meniru kalimatnya. Dia tersenyum geli. Disambung dengan gelengan kepalanya.
“Hihihi…ngga. Ngga ada yang salah. Aku jadi teringat Deny. Kekasihku…” untuk sesaat, dia tiba-tiba terdiam “..enggg…mantan kekasihku lebih tepatnya”.
Mukanya tertunduk. Berusaha menyembunyikan kesedihan yang tengah bersamanya.
“Maaf”. Aku salah tingkah dan merasa tak enak hati. “Itukah yang membuatmu menangis tadi?...” aku lagi-lagi menjadi salah tingkah. Kikuk, “akh..maaf aku tidak bermaksud turut cam..”
“Dia mengajakku berpisah. Tadi malam, jam sepuluh. Padahal hari ini tepat empat tahun kami menjalani sebuah hubungan serius.” dia mulai menyeruput espresso-nya, “..padahal setiap hari kami breaklunch di kedai ini. Tiap pukul sebelas siang. Meski hanya dengan selapis roti dan secangkir kopi”. Dia menyeruput espresso-nya. Untuk yang kedua kali.
“Nggg….lalu…?” Aku setia mendengarkan ceritanya. Lalu dia kembali menceritakan kisah sedihnya…
“Dia tidak mengatakan apa alasannya. Ketika aku menanyakannya. Dia hanya diam. Aku salah apa?! Kenapa dia meninggalkanku?!” Dia mulai marah…lalu tiba-tiba tersenyum…” tapi aku tidak menyalahkan dia. Dia terlalu baik untukku. Dia pantas mendapatkan yang lebih baik.”
“Memangnya kamu kurang baik apa? Bagiku kamu terlihat…ngg…gg…sem-pur-na.”
Pipinya bersemu merah. Dia tampak senang dipuji. Tapi kemudian dia terlihat marah lagi.
“Tapi tetap saja dia meninggalkanku kan??!!!”
Aku bingung dengan perubahan sikapnya yang naik turun itu. Dia tampak sedang mengalami depresi yang akut. Dia membuatku ngeri tapi juga membuatku kasihan padanya. Dia seperti orang linglung. Espresso-nya pun hanya tinggal separuh kini. Dengan sisa-sisa muka sembabnya dia mulai agak tenang. Dia mulai melanjutkan ceritanya yang belum usai.
“ Semalam aku mabuk. Aku minum banyak, setelah Deny memutuskan aku. Aku bingung. Padahal semuanya sudah hampir siap. Tinggal mencari hari baik untuk melangsungkan pernikahan. Dan tiba-tiba Deny pergi meninggalkanku. Buyar semua impian yang dulu aku bangun bersamanya. Dan entah bagaimana, tau-tau siang ini aku terdampar di sini. Di tempat ini. Tepat pukul jam sebelas tadi. Dan itu membuatku makin sadar bahwa mulai sekarang aku akan minum kopi sendirian, breaklunch sendirian, tidak lagi ada Deny dalam hari-hariku, Deny memang telah meninggalkanku. Aku memang pantas buat dia tinggalin. Aku memang pantas…..” suaranya makin melemah, dan akhirnya dia mulai menangis lirih…
Diantara kebingunganku, aku menenangkannya. Agaknya aku gagal membuatnya tertawa hari ini. Tapi tak apalah, biarlah aku menjadi sahabatnya sejenak. Biar dia luapkan sedihnya.
“Tika,..kamu tidak sendiri kok. Hari ini biar aku menemanimu. Kamu ungkapkan saja semua sedihmu. Maaf, aku memang bukan orang yang bisa dengan mudah menghibur. Tapi aku ingin melihat kamu tertawa. Itu saja. Tidak layak sepertinya wajahmu yang apik itu dinodai oleh air mata yang tak henti-henti itu.”
Kartika mulai menghapus air matanya, dan tersenyum. “Makasih banyak, Van. Maaf, baru kenal tapi sudah merepotkanmu.”
“Udahlah Ka, kamu tenang saja. Aku juga sedang menenangkan diri di tempat ini.” “Mau rokok, Van?” Gadis itu menawarkan sebatang rokok padaku. Aku menggeleng. Aku menolak dengan halus.
“Maaf, aku tidak merokok.”
“Oh,..maaf. Tapi kamu tidak keberatan kalo aku merokok kan?” Aku mengangguk, dan mempersilakan.
Sebenarnya gadis cantik yang di hadapanku kini membuatku makin penasaran. Penampilan seorang gadis modern tampak lekat pada dirinya. Tapi aku agak sedikit menyayangkan sikapnya dalam menyelesaikan masalah. Kenapa harus dengan minuman dan rokok? Tapi akh…lagi-lagi aku sok tahu dan sok mau tahu. Bukankah itu sudah menjadi pilihannya. Dan bisa jadi dengan merokok masalah berat yang tengah dia hadapi ikut terbang bersama kepulan-kepulan asap rokok yang terbang ke udara. Sudahlah, aku kan sudah berkomit untuk jadi sahabatnya hari ini.
“Kok tidak pesan makanan?” tanyaku padanya. Karena kulihat tidak ada kudapan atau makanan apapun di hadapannya. Dia menggeleng.
“Belum.” Dia menjawab sembari menghisap rokoknya dalam-dalam
“Ini sudah jam satu. Padahal kamu juga belum sarapan.”
“Bagaimana kamu bisa tahu?” Dia terheran-heran agaknya. Apalagi ditambah dengan suara tawaku, yang mungkin dirasa ganjil olehnya.
“Kamu kan pernah cerita sebelumnya kalau kamu tiap jam sebelas siang kemari untuk sekedar breaklunch. Itu berarti kamu belum sarapan sebelumnya kan?!”
“Hehehe…iya. Kamu pintar menganalisa kata-kata orang ternyata.” Tampaknya dia barusan memujiku. Atau hanya perasaanku saja barangkali. Tapi kalo seandainya memang hari ini adalah awal dan akhir pertemuanku dengannya, cukuplah aku boleh berpendapat kalo kata-katanya barusan adalah pujian.
Siapa yang tidak berdebar-debar jantungnya jika dipuji oleh gadis secantik Kartika ini. Rambutnya panjang sebahu,lurus berkilau. Tubuhnya tidak gemuk, tapi juga tidak kurus. Kulitnya kuning langsat, senyumnya membuat hati para pria kebat-kebit tak karuan. Lirikan matanya membuat siapapun mabuk kepayang. Kalau boleh aku tebak sih, tubuhnya tinggi semampai. Gila. Nilai sepuluh untuk penampilannya. Aku memang pendiam, tapi jujur saja, pikiranku tak bisa diam jika ada makhluk ciptaanNya yang dashyat seperti di hadapanku ini. Aku terpesona. Baru kali ini aku bertemu dengan sesosok perempuan seperti ini…akh…gadis yang rupawan. Lelaki bodoh macam mana yang tega meninggalkan gadis seelok dia. Yang membuat perempuan di hadapanku ini meneguk minuman keras, dan melepaskan kekesalan dengan menjadi perokok. Akh…sungguh sayang.
“Kenapa memandangiku seperti itu Van?” Upss..agaknya Kartika memergokiku tengah memandanginya dalam waktu yang lama. Aku merasa malu. Lagi-lagi aku salah tingkah.
“Nggg…ketahuan ya?” Aku tertawa. Kartika tertawa. Kami pun tertawa bersama. Sesaat aku lihat beberapa mata memandangiku dengan tatapan aneh. Tatapan bingung. Aku sempat bertanya dalam hati apa ada yang salah? Tapi sudahlah…hari ini adalah hari yang cukup menyenangkan. Setelah kejadian dini hari tadi yang membuatku gelisah. Sesaat aku sudah bisa melupakan masalah pelikku beberapa belas jam lalu.
“Ngelamunin apa sih Van?”
“Fiuuuuhh…aku bersyukur bertemu kamu Ka. Hari yang berat jadi menyenangkan.” Pandanganku kembali menerawang.
“Kalau kamu tidak keberatan, kamu juga boleh kok menceritakan masalahmu.” Kartika tersenyum. Senyumnya membuatku tak berkutik. Aku hanya berharap dia tak mendengar degub jantungku yang kian kencang. Aku tak mau lagi malu dan salah tingkah di depannya.
“Kamu cantik Ka.” celetukku tanpa pikir panjang. Begitu sadar apa yang kuucap aku mengumpati diriku sendiri. Membodohi ketidaksopananku. Mengejek keterusteranganku.
“Hah? Apa, Van?” Agaknya Kartika tidak mendengar. Akh…syukurlah.
“Aku mengalami kejadian mengerikan semalam. Lebih tepatnya dini hari tadi.”
“Kenapa?”
“Berat aku untuk bercerita. Terlalu pelik. Aku tidak ingin semakin membebanimu”
“Hahaha…Irvan….Irvan….katamu kita teman. Jadi ngga ada salahnya kan kalau kamu berbagi sedihmu juga.” Kartika terlihat sudah sedikit mereda dan menjadi gadis normal di mataku. Sikapnya tidak lagi fluktuatif naik turun. Hanya sebatang rokok yang berada di sela jarinya itu yang bagiku masih terlihat kurang indah.
Aku tidak benci rokok. Itu adalah pilihan. Aku menghargai siapa pun yang memadu kasih dengan manisnya. Dan aku juga tahu banyak yang menggilai benda yang satu ini. Tapi tetap saja bagiku rokok adalah racun yang membunuh diri perlahan. Akh…sedari tadi aku belum memesan minuman. Sudah dua jam lebih beberapa menit aku terduduk di tempat ini. Pantas saja mulutku kering. Kulirik cangkir Kartika kosong melompong. Kopi panas berbuihnya telah menguap rupanya. masuk ke kerongkongan, dan menghapus dahaganya. BIsa menghapus gundahnya tidak ya? Pikirku. Akhirnya, sebelum aku bercerita pada gadis cantik di depanku ini, aku ingin memesan segelas lime squash agar hilang rasa haus. Aku panggil pelayan.
“Ka, kamu mau minum lagi?”, tawarku. Dia mengangguk. Dan anehnya lagi-lagi dia meminta secangkir espresso panas. Begitu pelayan datang, aku memesan segelas lime squash dan secangkir espresso panas. Si Pelayan mengernyit heran. Nah, kan si Pelayan pasti juga bingung akan pesanan si Kartika yang meminta espresso panas di siang hari nan panas dan gerah ini.
“Van? Ayo dong kamu gantian cerita.” Aku kaget Kartika bisa merajuk sekarang. Akhirnya aku ungkap sudah kegelisahan dan kepelikan yang sedang kualami. Bersamaan dengan itu lime squash dan secangkir espresso pesananku tadi datang juga akhirnya. Si Pelayan mengikik geli. Aku ingin bertanya kenapa, tapi pikiranku sekarang sedang dipenuhi oleh Kartika dan kejadian dini hari tadi.
“Lalu? orang yang kamu tabrak itu mati?” Kartika memotong ceritaku, wajahnya memucat. Ngeri mungkin dia mendengar ceritaku barusan.
“Entahlah. Tapi kalau aku lihat dari cara mobilnya jatuh. Kemungkinan kecil dia selamat. Aku benar-benar tidak sengaja Ka. Aku justru kaget, tiba-tiba ada mobil nyelonong di depanku. Reflek aku banting setir. Aku merasa mobilku menyenggol mobilnya. Dan tau-tau, mobilnya masuk jurang. Mungkin senggolanku terlalu keras. Akhh…aku tidak tahu Ka, masih belum jelas. Jujur aku takut.”
“Trus? Knapa kamu bisa di sini? Bukannya biasanya kamu harus menunggu keputusan, siapa yang salah dan bagaimana keadaan korban sebelum kamu bisa bebas duduk tenang di luar?” Kartika tampak antusias untuk tahu tanggapanku.
“Aku serahkan semua ke pengacaraku. Aku pasti bertanggung jawab kalau memang aku yang bersalah. Hanya saja, tadi aku merasa ngeri melihat kondisi mobilnya yang remuk. Aku tak mampu berdiri tegak. Darahku bergejolak. Seharian ini aku masih menunggu kabar dengan perasaan tak tenang. Makanya aku terdampar di sini. Sekedar untuk menenangkan diri. Aku kalut.”
“Lalu sampai sekarang pun kamu masih belum tahu identitas korban?”
“Kamu kayak polisi aja Ka.” Aku tersenyum. Dia pun juga. Aku melanjutkan, “ aku belum tahu. Pengacaraku belum mengabariku lagi. Bahkan jenis kelamin korban saja aku juga belum tahu. Kata pengacaraku, aku disuruh menenangkan diri dulu. Sekitar jam tiga sore nanti dia akan memberi kabar padaku.”
“Tenang saja Van…pasti semuanya akan baik-baik saja. Toh, kamu yakin kalau kamu ngga salah kan. Kamu tidak akan terjerat sanksi hukum apapun Van. Tenanglah.” Kartika menyemangatiku, dia menepuk bahuku. Padahal dia sendiri juga sedang mengalami kesedihan yang luar biasa. Dia tampak tegar dan dewasa. Diantara kepulan-kepulan asap.
“Aku hanya bisa menunggu Ka. Menunggu.”
“Iya. Kita berdua sama Van. Menunggu”.
“Maksudmu? Kamu menunggu untuk apa?”
“Menunggu Deny datang dengan membawa alasan kenapa dia meninggalkanku”.
Akh..dia begitu mencintai laki-laki itu …tidak bisakah ada lelaki lain yang bisa menggantikan Deny dalam hatinya. Sepertinya, aku jatuh cinta pada perempuan di hadapanku ini. Entahlah.
Kedai kopi mulai ramai. Orang-orang mulai berdatangan.Tempat yang tadi terlihat lega, menjadi terkesan padat. Aku sudah lebih dari tiga jam di sini, dengan segelas lime squash yang habis kini. Espresso Kartika masih nampak penuh. Bahkan aku dapat memastikan kopinya telah mendingin. Tiba-tiba handphoneku berbunyi, ini dia telepon yang aku tunggu sedari tadi. Kabar yang membuatku panas-dingin bagai orang yang akan dieksekusi mati.
“Dari pengacaramu?” Kartika berbisik. Aku mengangguk, lalu meminta izin untuk keluar sebentar. Di dalam terlalu hingar untuk dapat mendengarkan dengan jelas suara Tom, pengacaraku. Dan Kartika mengangguk mempersilakan. Lima menit kemudian aku kembali masuk ke dalam. Menemui Kartika dan hendak berpamitan padanya.
“Bagaimana?”, tanyanya. Dia ternyata ikut merasakan kekhawatiranku. Aku jadi terharu. Padahal beberapa jam yang lalu aku hanyalah sesosok asing yang tak dia kenal. Aku tersenyum padanya. Dan mengacungkan jempol. Tanda bahwa semuanya berjalan seperti yang diharapkan.
“Aku dinyatakan tidak bersalah Ka”, jelasku. “Aku diminta untuk bertemu dengan pengacaraku. Dia akan menceritakan semua detailnya. Dan aku harus menandatangani beberapa surat pernyataan, atau semacamnya sekarang. Jadi…..” aku menggantung kata-kataku. Aku seperti tidak tega meninggalkannya sendirian di sini. Menunggu tanpa pasti dan henti.
“Pergilah”. Kartika tersenyum. Dia seperti bisa menebak apa yang kupikirkan.
“Kamu yakin tidak apa-apa kutinggalkan?” Aku masih ragu untuk meninggalkan dalam keadaannya yang seperti sekarang. Dia mengangguk meyakinkan.
“Lalu, kamu masih mau di sini? sampai kapan?” tanyaku padanya
“Aku menunggu sampai Deny datang, Ka. Dia pasti datang.”
“Kamu yakin?” tanyaku lagi.
“Aku yakin.” dia menjawab dengan penuh kepastian dan keyakinan. “Makasih Van. sudah menemaniku hari ini”. Senyum tulusnya memancarkan kesejukan.
“Sama-sama Ka. Kamu juga membuat hariku menyenangkan hari ini. Aku doakan yang terbaik untukmu. Semoga bahagia Ka bersama Deny. Aku yakin dia pasti akan kembali padamu.” Aku tersenyum. Akhirnya aku harus merelakannya. Dia memang sepertinya tidak dilahirkan untukku. Pertemuanku dengannya singkat memang, namun terasa begitu panjang dan lama. Aku menghargai pertemuan dan perpisahan ini. Semoga dia bahagia bersama Deny. Aku yakin Deny tidak akan meninggalkan gadis elok seperti itu.
“Ka, jangan lupa makan. Kamu belum makan sama sekali dari pagi kan? Hari sudah menjelang sore. Kamu pesan saja. Biar aku yang traktir.”
“Iya, makasih Van.”
Setelah aku membayar semua tagihan, aku pergi meninggalkannya. Dia kembali tertunduk. Dan aura kesedihan kembali menyelimutinya.
# # #
Seminggu setelahnya……
Kini aku tahu jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku dulu. Aku mengerti. AKu mengerti betul sekarang. Dan sekarang, itu menjadi urusanku. Aku harus mencari cara untuk menyelesaikan semua. Agar dia bahagia. Tapi bagaimana caranya? Aku sendiri belum tahu. Tapi aku tidak tega membuatnya menjadi terus menunggu. Aku turut andil dalam masalah ini.
“Maaf Kartika. Maaf”. Aku tergugu, aku bingung. Aku merasa bodoh sekarang. Aku harus bagaimana untuk memberitahunya?
Aku memang dinyatakan tidak bersalah atas kejadian waktu itu. Mobil yang kutabrak memang salah jalur. Hingga akhirnya Si Pengemudi tewas dalam peristiwa yang naas itu.
Hingga saat ini, setiap kali aku melewati kedai kopi itu ,aku melihatnya. Duduk di sudut pojok, yang dulu adalah tempat favoritnya dengan Deny. Dia masih dengan wajah sedihnya. Sesekali dia tersenyum, mungkin dia teringat akan kenangannya bersama Deny. Tapi sesekali dia tampak kecewa dan marah. Lalu dia diam. Sampai sekarang, dia tetap setia. Setia menunggu, setia dalam penantian, bersama dengan secangkir kopi espresso yang panas, setiap pukul sebelas. Tanpa lelah tanpa banyak bicara, dia tetap setia menunggu. Menunggu sebuah alasan kenapa dia ditinggalkan. Dia adalah Kartika Wulandari. Seorang gadis muda yang cantik dan apik. Berkulit kuning langsat, berambut panjang sebahu, dan tinggi semampai. Seorang gadis yang ditinggalkan laki-laki bernama Deny. Seorang gadis yang buyar impiannya karena batal menjadi seorang istri dari pria yang dicintai. Dan, seorang gadis yang belum menyadari bahwa dirinya telah mati tertabrak mobil jam dua dini hari. Karena mabuk hingga tak sadarkan diri.
-Selesai-
14 Juni 2008
Seorang gadis berbaju coklat sedang duduk termenung sendirian di pojokan sebuah kedai kopi. Dia diam dan pandangannya terlihat kosong. Seperti sudah bosan hidup. Tak ada gairah dan semangat untuk menghadapi matahari yang sedang memanas siang ini. Sebuah kopi espresso , berbuih dan panas menemaninya dengan setia. Cukup aneh untuk siang bolong yang gerah seperti sekarang.
Dia diam. Menatap pada kepulan panas di hadapannya. Hanya menatap. Tak ada hasrat untuk mencicipinya, meski hanya seseruputan. Mungkin karena masih panas. Entahlah. Aneh sekali gadis itu. Paling tidak dalam penglihatanku dia terlihat tidak biasa. Ada sesuatu yang ganjil dari dirinya. Dia sendiri sadari atau tidak.
Dia mengaduk-aduk espresso-nya tanpa maksud yang jelas. Sesekali dia mengernyitkan dahi, dan tersenyum, entah karena apa. Lalu kulihat dia menitikkan air mata. Untuk gadis semanis dia, tak pantas air mata keluar dari matanya. Entah karena rasa empatiku atau memang karena rasa penasaran menggodaku aku mendatangi tempat duduknya.
“Ini…” aku sodorkan sebuah sapu tangan putih bergaris biru milikku padanya. Dia mendongakkan kepala. Memandangku dengan tatapan bingung, atau lebih tepatnya pandangan ingin tahu siapa tuan sok peduli ini.
“Makasih..” ucapnya sambil menerima sapu tanganku itu. Diusapnya air matanya hingga kering, namun semburat kesedihan masih membekas di sana. Membuatku jadi ingin sekali membuatnya tertawa. Hari ini, hanya hari ini. Kalau saja bisa. Tapi pertanyaan-pertanyaan yang berdengung di kepalaku membuatku pikir panjang. Aku ini siapanya dia sih? Cuma orang asing yang sekedar lewat, yang punya rasa penasaran berlebih. Hanya itu. Tak ada yang istimewa. Tapi aku cukup berbangga diri karena meski aku hanya orang asing yang sekedar lewat dan karena punya rasa penasaran berlebih membuatku bisa bertemu dengan seorang gadis yang menawan di sebuah kedai sederhana yang masih sepi, dengan secangkir kopi mengepul di depannya. Aku hendak pergi, kalo saja jemari lentiknya tidak menahanku untuk menemaninya menghabiskan espresso-nya.
“Kartika. Kartika Wulandari.” Gadis itu mengulurkan tangan mengajakku berkenalan.
“ Irvan. Irvan Kesuma”. Aku membalas perkenalannya. Demi kesopanan, dan itu mauku juga sebenarnya. Kartika. Nama yang mudah diingat. Dan membuatku senang karena namanya apik. Dan cantik.
Akhirnya di sinilah aku sekarang, bersama dengan seorang gadis berbaju coklat dengan kopi espresso panasnya. Kami berbincang tak tentu arah. Dia lebih banyak diam. Membuatku Si Pendiam ini kesusahan merangkai kata-kata. Sesekali dia mengangguk, sesekali dia tersenyum. Tapi dia masih saja belum bercerita untuk apa air matanya tadi berlinang. Aku mengetuk-ngetuk jemariku di atas meja. Aku kehabisan kata, kalimat. Lisanku terkunci. Biasanya dalam keadaan ini aku mati bosan. Tapi wajahnya yang cantik membuatku tak ingin menginjakkan kakiku ke tempat lain. Hanya ingin di sini. Saat ini dan seterusnya. Akhirnya kuberanikan diriku untuk bertanya. Aku penasaran.
“Wajahnya samar terlintas di ingatanku. Aku seperti pernah secara kabur melihatnya. Tapi, dimana ya?” pertanyaan itu mengusik pikiranku. Aku bergumul dengan asumsiku dan bergulat dengan ingatanku. Namun, nihil. Aku tidak menemukan apapun. Aku menghela nafas. Menyerah.
“Kenapa menghela nafas panjang seperti itu? Ada yang salah?”. Akhirnya, untuk sesaat aku berterimakasih pada ketidakbecusan ingatanku. Karena dengan itu aku mampu membuatnya berbicara. Membuatnya bertanya. Mengusik rasa keingintahuannya.
“Akh..tidak. Aku sedang berusaha mengingat sesuatu. Tapi sepertinya aku sedang terserang amnesia.” Aku menggaruk-garuk kepalaku yang ngga sama sekali gatal. Dan sepertinya hal itu tampak lucu baginya. Karena dia memamerkan padaku tawa renyahnya. Dia tertawa. Dia tertawa.
“Kenapa ketawa? ada yang salah?” Aku meniru kalimatnya. Dia tersenyum geli. Disambung dengan gelengan kepalanya.
“Hihihi…ngga. Ngga ada yang salah. Aku jadi teringat Deny. Kekasihku…” untuk sesaat, dia tiba-tiba terdiam “..enggg…mantan kekasihku lebih tepatnya”.
Mukanya tertunduk. Berusaha menyembunyikan kesedihan yang tengah bersamanya.
“Maaf”. Aku salah tingkah dan merasa tak enak hati. “Itukah yang membuatmu menangis tadi?...” aku lagi-lagi menjadi salah tingkah. Kikuk, “akh..maaf aku tidak bermaksud turut cam..”
“Dia mengajakku berpisah. Tadi malam, jam sepuluh. Padahal hari ini tepat empat tahun kami menjalani sebuah hubungan serius.” dia mulai menyeruput espresso-nya, “..padahal setiap hari kami breaklunch di kedai ini. Tiap pukul sebelas siang. Meski hanya dengan selapis roti dan secangkir kopi”. Dia menyeruput espresso-nya. Untuk yang kedua kali.
“Nggg….lalu…?” Aku setia mendengarkan ceritanya. Lalu dia kembali menceritakan kisah sedihnya…
“Dia tidak mengatakan apa alasannya. Ketika aku menanyakannya. Dia hanya diam. Aku salah apa?! Kenapa dia meninggalkanku?!” Dia mulai marah…lalu tiba-tiba tersenyum…” tapi aku tidak menyalahkan dia. Dia terlalu baik untukku. Dia pantas mendapatkan yang lebih baik.”
“Memangnya kamu kurang baik apa? Bagiku kamu terlihat…ngg…gg…sem-pur-na.”
Pipinya bersemu merah. Dia tampak senang dipuji. Tapi kemudian dia terlihat marah lagi.
“Tapi tetap saja dia meninggalkanku kan??!!!”
Aku bingung dengan perubahan sikapnya yang naik turun itu. Dia tampak sedang mengalami depresi yang akut. Dia membuatku ngeri tapi juga membuatku kasihan padanya. Dia seperti orang linglung. Espresso-nya pun hanya tinggal separuh kini. Dengan sisa-sisa muka sembabnya dia mulai agak tenang. Dia mulai melanjutkan ceritanya yang belum usai.
“ Semalam aku mabuk. Aku minum banyak, setelah Deny memutuskan aku. Aku bingung. Padahal semuanya sudah hampir siap. Tinggal mencari hari baik untuk melangsungkan pernikahan. Dan tiba-tiba Deny pergi meninggalkanku. Buyar semua impian yang dulu aku bangun bersamanya. Dan entah bagaimana, tau-tau siang ini aku terdampar di sini. Di tempat ini. Tepat pukul jam sebelas tadi. Dan itu membuatku makin sadar bahwa mulai sekarang aku akan minum kopi sendirian, breaklunch sendirian, tidak lagi ada Deny dalam hari-hariku, Deny memang telah meninggalkanku. Aku memang pantas buat dia tinggalin. Aku memang pantas…..” suaranya makin melemah, dan akhirnya dia mulai menangis lirih…
Diantara kebingunganku, aku menenangkannya. Agaknya aku gagal membuatnya tertawa hari ini. Tapi tak apalah, biarlah aku menjadi sahabatnya sejenak. Biar dia luapkan sedihnya.
“Tika,..kamu tidak sendiri kok. Hari ini biar aku menemanimu. Kamu ungkapkan saja semua sedihmu. Maaf, aku memang bukan orang yang bisa dengan mudah menghibur. Tapi aku ingin melihat kamu tertawa. Itu saja. Tidak layak sepertinya wajahmu yang apik itu dinodai oleh air mata yang tak henti-henti itu.”
Kartika mulai menghapus air matanya, dan tersenyum. “Makasih banyak, Van. Maaf, baru kenal tapi sudah merepotkanmu.”
“Udahlah Ka, kamu tenang saja. Aku juga sedang menenangkan diri di tempat ini.” “Mau rokok, Van?” Gadis itu menawarkan sebatang rokok padaku. Aku menggeleng. Aku menolak dengan halus.
“Maaf, aku tidak merokok.”
“Oh,..maaf. Tapi kamu tidak keberatan kalo aku merokok kan?” Aku mengangguk, dan mempersilakan.
Sebenarnya gadis cantik yang di hadapanku kini membuatku makin penasaran. Penampilan seorang gadis modern tampak lekat pada dirinya. Tapi aku agak sedikit menyayangkan sikapnya dalam menyelesaikan masalah. Kenapa harus dengan minuman dan rokok? Tapi akh…lagi-lagi aku sok tahu dan sok mau tahu. Bukankah itu sudah menjadi pilihannya. Dan bisa jadi dengan merokok masalah berat yang tengah dia hadapi ikut terbang bersama kepulan-kepulan asap rokok yang terbang ke udara. Sudahlah, aku kan sudah berkomit untuk jadi sahabatnya hari ini.
“Kok tidak pesan makanan?” tanyaku padanya. Karena kulihat tidak ada kudapan atau makanan apapun di hadapannya. Dia menggeleng.
“Belum.” Dia menjawab sembari menghisap rokoknya dalam-dalam
“Ini sudah jam satu. Padahal kamu juga belum sarapan.”
“Bagaimana kamu bisa tahu?” Dia terheran-heran agaknya. Apalagi ditambah dengan suara tawaku, yang mungkin dirasa ganjil olehnya.
“Kamu kan pernah cerita sebelumnya kalau kamu tiap jam sebelas siang kemari untuk sekedar breaklunch. Itu berarti kamu belum sarapan sebelumnya kan?!”
“Hehehe…iya. Kamu pintar menganalisa kata-kata orang ternyata.” Tampaknya dia barusan memujiku. Atau hanya perasaanku saja barangkali. Tapi kalo seandainya memang hari ini adalah awal dan akhir pertemuanku dengannya, cukuplah aku boleh berpendapat kalo kata-katanya barusan adalah pujian.
Siapa yang tidak berdebar-debar jantungnya jika dipuji oleh gadis secantik Kartika ini. Rambutnya panjang sebahu,lurus berkilau. Tubuhnya tidak gemuk, tapi juga tidak kurus. Kulitnya kuning langsat, senyumnya membuat hati para pria kebat-kebit tak karuan. Lirikan matanya membuat siapapun mabuk kepayang. Kalau boleh aku tebak sih, tubuhnya tinggi semampai. Gila. Nilai sepuluh untuk penampilannya. Aku memang pendiam, tapi jujur saja, pikiranku tak bisa diam jika ada makhluk ciptaanNya yang dashyat seperti di hadapanku ini. Aku terpesona. Baru kali ini aku bertemu dengan sesosok perempuan seperti ini…akh…gadis yang rupawan. Lelaki bodoh macam mana yang tega meninggalkan gadis seelok dia. Yang membuat perempuan di hadapanku ini meneguk minuman keras, dan melepaskan kekesalan dengan menjadi perokok. Akh…sungguh sayang.
“Kenapa memandangiku seperti itu Van?” Upss..agaknya Kartika memergokiku tengah memandanginya dalam waktu yang lama. Aku merasa malu. Lagi-lagi aku salah tingkah.
“Nggg…ketahuan ya?” Aku tertawa. Kartika tertawa. Kami pun tertawa bersama. Sesaat aku lihat beberapa mata memandangiku dengan tatapan aneh. Tatapan bingung. Aku sempat bertanya dalam hati apa ada yang salah? Tapi sudahlah…hari ini adalah hari yang cukup menyenangkan. Setelah kejadian dini hari tadi yang membuatku gelisah. Sesaat aku sudah bisa melupakan masalah pelikku beberapa belas jam lalu.
“Ngelamunin apa sih Van?”
“Fiuuuuhh…aku bersyukur bertemu kamu Ka. Hari yang berat jadi menyenangkan.” Pandanganku kembali menerawang.
“Kalau kamu tidak keberatan, kamu juga boleh kok menceritakan masalahmu.” Kartika tersenyum. Senyumnya membuatku tak berkutik. Aku hanya berharap dia tak mendengar degub jantungku yang kian kencang. Aku tak mau lagi malu dan salah tingkah di depannya.
“Kamu cantik Ka.” celetukku tanpa pikir panjang. Begitu sadar apa yang kuucap aku mengumpati diriku sendiri. Membodohi ketidaksopananku. Mengejek keterusteranganku.
“Hah? Apa, Van?” Agaknya Kartika tidak mendengar. Akh…syukurlah.
“Aku mengalami kejadian mengerikan semalam. Lebih tepatnya dini hari tadi.”
“Kenapa?”
“Berat aku untuk bercerita. Terlalu pelik. Aku tidak ingin semakin membebanimu”
“Hahaha…Irvan….Irvan….katamu kita teman. Jadi ngga ada salahnya kan kalau kamu berbagi sedihmu juga.” Kartika terlihat sudah sedikit mereda dan menjadi gadis normal di mataku. Sikapnya tidak lagi fluktuatif naik turun. Hanya sebatang rokok yang berada di sela jarinya itu yang bagiku masih terlihat kurang indah.
Aku tidak benci rokok. Itu adalah pilihan. Aku menghargai siapa pun yang memadu kasih dengan manisnya. Dan aku juga tahu banyak yang menggilai benda yang satu ini. Tapi tetap saja bagiku rokok adalah racun yang membunuh diri perlahan. Akh…sedari tadi aku belum memesan minuman. Sudah dua jam lebih beberapa menit aku terduduk di tempat ini. Pantas saja mulutku kering. Kulirik cangkir Kartika kosong melompong. Kopi panas berbuihnya telah menguap rupanya. masuk ke kerongkongan, dan menghapus dahaganya. BIsa menghapus gundahnya tidak ya? Pikirku. Akhirnya, sebelum aku bercerita pada gadis cantik di depanku ini, aku ingin memesan segelas lime squash agar hilang rasa haus. Aku panggil pelayan.
“Ka, kamu mau minum lagi?”, tawarku. Dia mengangguk. Dan anehnya lagi-lagi dia meminta secangkir espresso panas. Begitu pelayan datang, aku memesan segelas lime squash dan secangkir espresso panas. Si Pelayan mengernyit heran. Nah, kan si Pelayan pasti juga bingung akan pesanan si Kartika yang meminta espresso panas di siang hari nan panas dan gerah ini.
“Van? Ayo dong kamu gantian cerita.” Aku kaget Kartika bisa merajuk sekarang. Akhirnya aku ungkap sudah kegelisahan dan kepelikan yang sedang kualami. Bersamaan dengan itu lime squash dan secangkir espresso pesananku tadi datang juga akhirnya. Si Pelayan mengikik geli. Aku ingin bertanya kenapa, tapi pikiranku sekarang sedang dipenuhi oleh Kartika dan kejadian dini hari tadi.
“Lalu? orang yang kamu tabrak itu mati?” Kartika memotong ceritaku, wajahnya memucat. Ngeri mungkin dia mendengar ceritaku barusan.
“Entahlah. Tapi kalau aku lihat dari cara mobilnya jatuh. Kemungkinan kecil dia selamat. Aku benar-benar tidak sengaja Ka. Aku justru kaget, tiba-tiba ada mobil nyelonong di depanku. Reflek aku banting setir. Aku merasa mobilku menyenggol mobilnya. Dan tau-tau, mobilnya masuk jurang. Mungkin senggolanku terlalu keras. Akhh…aku tidak tahu Ka, masih belum jelas. Jujur aku takut.”
“Trus? Knapa kamu bisa di sini? Bukannya biasanya kamu harus menunggu keputusan, siapa yang salah dan bagaimana keadaan korban sebelum kamu bisa bebas duduk tenang di luar?” Kartika tampak antusias untuk tahu tanggapanku.
“Aku serahkan semua ke pengacaraku. Aku pasti bertanggung jawab kalau memang aku yang bersalah. Hanya saja, tadi aku merasa ngeri melihat kondisi mobilnya yang remuk. Aku tak mampu berdiri tegak. Darahku bergejolak. Seharian ini aku masih menunggu kabar dengan perasaan tak tenang. Makanya aku terdampar di sini. Sekedar untuk menenangkan diri. Aku kalut.”
“Lalu sampai sekarang pun kamu masih belum tahu identitas korban?”
“Kamu kayak polisi aja Ka.” Aku tersenyum. Dia pun juga. Aku melanjutkan, “ aku belum tahu. Pengacaraku belum mengabariku lagi. Bahkan jenis kelamin korban saja aku juga belum tahu. Kata pengacaraku, aku disuruh menenangkan diri dulu. Sekitar jam tiga sore nanti dia akan memberi kabar padaku.”
“Tenang saja Van…pasti semuanya akan baik-baik saja. Toh, kamu yakin kalau kamu ngga salah kan. Kamu tidak akan terjerat sanksi hukum apapun Van. Tenanglah.” Kartika menyemangatiku, dia menepuk bahuku. Padahal dia sendiri juga sedang mengalami kesedihan yang luar biasa. Dia tampak tegar dan dewasa. Diantara kepulan-kepulan asap.
“Aku hanya bisa menunggu Ka. Menunggu.”
“Iya. Kita berdua sama Van. Menunggu”.
“Maksudmu? Kamu menunggu untuk apa?”
“Menunggu Deny datang dengan membawa alasan kenapa dia meninggalkanku”.
Akh..dia begitu mencintai laki-laki itu …tidak bisakah ada lelaki lain yang bisa menggantikan Deny dalam hatinya. Sepertinya, aku jatuh cinta pada perempuan di hadapanku ini. Entahlah.
Kedai kopi mulai ramai. Orang-orang mulai berdatangan.Tempat yang tadi terlihat lega, menjadi terkesan padat. Aku sudah lebih dari tiga jam di sini, dengan segelas lime squash yang habis kini. Espresso Kartika masih nampak penuh. Bahkan aku dapat memastikan kopinya telah mendingin. Tiba-tiba handphoneku berbunyi, ini dia telepon yang aku tunggu sedari tadi. Kabar yang membuatku panas-dingin bagai orang yang akan dieksekusi mati.
“Dari pengacaramu?” Kartika berbisik. Aku mengangguk, lalu meminta izin untuk keluar sebentar. Di dalam terlalu hingar untuk dapat mendengarkan dengan jelas suara Tom, pengacaraku. Dan Kartika mengangguk mempersilakan. Lima menit kemudian aku kembali masuk ke dalam. Menemui Kartika dan hendak berpamitan padanya.
“Bagaimana?”, tanyanya. Dia ternyata ikut merasakan kekhawatiranku. Aku jadi terharu. Padahal beberapa jam yang lalu aku hanyalah sesosok asing yang tak dia kenal. Aku tersenyum padanya. Dan mengacungkan jempol. Tanda bahwa semuanya berjalan seperti yang diharapkan.
“Aku dinyatakan tidak bersalah Ka”, jelasku. “Aku diminta untuk bertemu dengan pengacaraku. Dia akan menceritakan semua detailnya. Dan aku harus menandatangani beberapa surat pernyataan, atau semacamnya sekarang. Jadi…..” aku menggantung kata-kataku. Aku seperti tidak tega meninggalkannya sendirian di sini. Menunggu tanpa pasti dan henti.
“Pergilah”. Kartika tersenyum. Dia seperti bisa menebak apa yang kupikirkan.
“Kamu yakin tidak apa-apa kutinggalkan?” Aku masih ragu untuk meninggalkan dalam keadaannya yang seperti sekarang. Dia mengangguk meyakinkan.
“Lalu, kamu masih mau di sini? sampai kapan?” tanyaku padanya
“Aku menunggu sampai Deny datang, Ka. Dia pasti datang.”
“Kamu yakin?” tanyaku lagi.
“Aku yakin.” dia menjawab dengan penuh kepastian dan keyakinan. “Makasih Van. sudah menemaniku hari ini”. Senyum tulusnya memancarkan kesejukan.
“Sama-sama Ka. Kamu juga membuat hariku menyenangkan hari ini. Aku doakan yang terbaik untukmu. Semoga bahagia Ka bersama Deny. Aku yakin dia pasti akan kembali padamu.” Aku tersenyum. Akhirnya aku harus merelakannya. Dia memang sepertinya tidak dilahirkan untukku. Pertemuanku dengannya singkat memang, namun terasa begitu panjang dan lama. Aku menghargai pertemuan dan perpisahan ini. Semoga dia bahagia bersama Deny. Aku yakin Deny tidak akan meninggalkan gadis elok seperti itu.
“Ka, jangan lupa makan. Kamu belum makan sama sekali dari pagi kan? Hari sudah menjelang sore. Kamu pesan saja. Biar aku yang traktir.”
“Iya, makasih Van.”
Setelah aku membayar semua tagihan, aku pergi meninggalkannya. Dia kembali tertunduk. Dan aura kesedihan kembali menyelimutinya.
# # #
Seminggu setelahnya……
Kini aku tahu jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku dulu. Aku mengerti. AKu mengerti betul sekarang. Dan sekarang, itu menjadi urusanku. Aku harus mencari cara untuk menyelesaikan semua. Agar dia bahagia. Tapi bagaimana caranya? Aku sendiri belum tahu. Tapi aku tidak tega membuatnya menjadi terus menunggu. Aku turut andil dalam masalah ini.
“Maaf Kartika. Maaf”. Aku tergugu, aku bingung. Aku merasa bodoh sekarang. Aku harus bagaimana untuk memberitahunya?
Aku memang dinyatakan tidak bersalah atas kejadian waktu itu. Mobil yang kutabrak memang salah jalur. Hingga akhirnya Si Pengemudi tewas dalam peristiwa yang naas itu.
Hingga saat ini, setiap kali aku melewati kedai kopi itu ,aku melihatnya. Duduk di sudut pojok, yang dulu adalah tempat favoritnya dengan Deny. Dia masih dengan wajah sedihnya. Sesekali dia tersenyum, mungkin dia teringat akan kenangannya bersama Deny. Tapi sesekali dia tampak kecewa dan marah. Lalu dia diam. Sampai sekarang, dia tetap setia. Setia menunggu, setia dalam penantian, bersama dengan secangkir kopi espresso yang panas, setiap pukul sebelas. Tanpa lelah tanpa banyak bicara, dia tetap setia menunggu. Menunggu sebuah alasan kenapa dia ditinggalkan. Dia adalah Kartika Wulandari. Seorang gadis muda yang cantik dan apik. Berkulit kuning langsat, berambut panjang sebahu, dan tinggi semampai. Seorang gadis yang ditinggalkan laki-laki bernama Deny. Seorang gadis yang buyar impiannya karena batal menjadi seorang istri dari pria yang dicintai. Dan, seorang gadis yang belum menyadari bahwa dirinya telah mati tertabrak mobil jam dua dini hari. Karena mabuk hingga tak sadarkan diri.
-Selesai-
14 Juni 2008
Komentar
Posting Komentar