Sebuah Kisah Tentang Koma
Ngomongin cowok plus cinta buat cewek semacam aku ini serasa “wasting time” bangeeet! Bukannya ngga minat, ngga suka, ato bagemana-bagemana seeehh…hanya aja, menurutku masih banyak hal yang pengen aku lakukan selain mikirin makhluk bernama cowok. Salah satunya dengan jadi anak yang ngebanggain ortu tentunya. Mungkin buat sebagian orang terkesan kaku, ngga gaul, konservatif atau apalah istilah-istilah yang ngegambarin betapa kunonya aku. Tapi guys, itulah aku. Biasa, sederhana, simple, dan ngga aneh-aneh. Dan sumpah…asli!!! Temen-temenku pada ngetawain pola pikirku yang kayak gitu. Anehkah aku? Bagiku punya segudang prestasi di skul, punya wajah yang ngga jelek-jelek banget, punya ortu yang tajir abis, punya sobat-sobat yang nyenengin, semua anugerah itu ngga harus digembor-gemborin kan?Meski begitu aku selalu berpenampilan biasa-biasa aja, berangkat skul naek angkot bahkan pernah juga jalan kaki walau habis itu kakiku pada pegel semua. Hehehe…tapi entah kenapa hal-hal sederhana seperti itulah yang membuatku merasa damai, tentram, dan bahagia. Mungkin kesederhanaan itu juga, yang kata temen-temenku sih ngebikin aku terlihat lebih dewasa. Lebih dewasa untuk cewek yang umurnya belum genap 17 taon kayak aku ini. Dan jawabanku lagi-lagi sederhana. “Dewasa itu ngga dilihat dari umur atau seberapa sederhananya kita, tapi dewasa itu bagaimana kita bisa memaklumi kekurangan orang lain, tersenyum bahagia karena kelebihan orang lain dan menyadari kekurangan serta kelebihan yang kita sendiri punya.”
“Ra…! Tungguin woi...” Mirna teman sebangkuku, sekaligus sahabat terbaikku berlari terengah menghampiriku. “..nih.” katanya sambil menyerahkan sebuah buku bergambar teddy bear.
Ternyata Mirna menemukan buku catatan kimiaku yang tertinggal di dalam laci mejaku. Aku secara reflek memeluknya hingga dia tak berkutik, maksudku sih sebagai perwujudan rasa terima kasih. Maklum bagiku ni buku amat sangat berharga keberadaannya. Begitu melihat raut mukanya yang makin merah padam aku segera melepaskan pelukan mautku itu. Dengan napas yang seadanya Mirna memakiku dan akhirnya kita berdua tertawa terbahak ngga jelas. Entah siapa yang memulai tapi tiba-tiba aja pembicaraan kita berdua berubah jadi ngomongin masalahku nolak si Andre kemaren.
“Gila…cowok sekeren dia kamu tolak juga?! Aneh deh kamu tu Ra. Beneran kamu sama sekali ngga tertarik ama makhluk super cool macam dia itu?”
“Ya ampuunnn, Mir…kamu tau sendiri kan, aku tuh males mikirin cowok. Kan dah ada sobat kayak kamu yang perhatiin aku.”
“Kamu ngga suka ama aku kan?? Merinding nih, Ra. Sumpah deh.” Mirna bergidik ngeri.
“Gebleg! Ya engggaaaaaklah…Aku tuh masih normal, kayak kamu, kayak anak cewek lain.
Tapi kamu tu kenal aku kan…” Kalimatku menggantung, karena aku tahu Mirna mengerti bahwa sekarang ini aku males mikirin cowok gara-gara abangku. Iya abangku yang tiap hari selalu aja gonta-ganti cewek. Buat mainan, gitu kata abangku kalo aku mulai nanya-nanya tentang kelakuannya. Dan bodohnya mau-maunya abangku itu diporotin uang sakunya. Aku jadi jijik, ngeri. Makanya aku ingin nunjukkin ke ortu kalo aku bisa jadi anak yang lebih baik dibandingin abangku itu, meski….ortuku hanya peduli ama pekerjaannya, bukan padaku ato abangku. Dan Mirna sebagai sahabatku tau. Bahwa sebenarnya di balik semua kedewasaanku, aku ngga bahagia. Si Mirna malah ngomong kalo seandainya dia jadi bundaku dia pasti bakalan khawatirin aku. Setelah aku tanya kenapa, justru jawabannya ngebuat aku tertawa terbahak. Karena saban hari hobinya nolakin cowok teruuuuuss. Begitu katanya. Lucu dia, apalagi dia ngomong gitu dengan ngedumel. Asli aku terbahak. Heran orang bundaku aja ngga peduli kenapa dia yang sewot gitu, setelah aku nanya lagi jawabannya ngga kalah bikin aku geli.
“Iya dong, jelas. Mana ada cewek yang ngga sebel liat seantero cowok cakep di skul kita ini pada nyatain cintanya ke kamu, tapi buntut-buntutnya kamu tolak juga. Mending tuh cowok buat kita-kita kan.” Pernyataan Mirna yang blak-blakan ini membuatku makin ngga bisa nahan tawa untuk kesekian kalinya. Lagi-lagi aku mengomentari pernyataan itu dengan sederhana. Kataku ke dia sih ngga ada yang maksa tu cowok-cowok nyatain cinta ke aku kan. Dan komentarku itu makin ngebuat Mirna menghujaniku dengan serentetan makiannya.Aku dan Mirna menyeberangi jalan di depan sekolahku. Seperti biasa halte di depan sekolahku itu seolah melambaikan tangannya mengajakku agar ikut bergabung bersama kerumunan manusia yang berseragam sama denganku. Hingga tiba-tiba pin bertuliskan “keep your own spirit” pemberian Mirna yang jadi kebangganku terjatuh saat aku memasukkan buku catatan kimia yang tadi ditemuin si Mirna. Aku membungkuk hendak mengambilnya, tapi begitu aku melihat sebuah motor sekelas motor balap melaju dengan kecepatan kencang ke arahku dan Mirna, entah sadar atau ngga aku mendorong Mirna agar menjauh. Dan tiba-tiba semuanya menjadi gelap.
***
Aku terbangun. Dengan kesadaran yang belum penuh. Aku merasa baru saja tertidur panjang dan bermimpi buruk. Aku tertabrak sebuah motor balap. Sepertinya aku selamat karena tiba-tiba aja aku terbangun. Tapi sepertinya itu bukan hanya mimpi karena sekarang ini aku terbangun di sebuah kamar yang terlihat asing untukku, berjendela lebar, bergorden putih kebiru-biruan, bertembok putih, dan bersih. Rumah sakit mungkin? Tapi di mana ayah dan bundaku?Akhhh..paling mereka sibuk seperti biasanya. Bekerja….bekerja…dan bekerja tiap hari.Abangku juga paling pergi ama gandengan barunya, padahal aku ngebutuhin peranan dia sebagai seorang kakak, ya seperti saat ini. Tapi….sudahlah aku toh ngga bisa berbuat apa-apa. Meski aku sebenarnya iri dengan teman-temanku termasuk pada Mirna juga. Punya keluarga yang sederhana, ketika makan malam bisa makan satu meja bersama. Jujur sebenarnya aku merindukan suasana itu. Sederhana, yah keluarga yang sederhana.Bahkan aku memberanikan diri naek angkot, karena dengan naek angkot aku merasa ngga sendirian ketika menuju perjalanan pulang ke rumah. Aku benci sendiri. Aku hanya berharap aku bisa sedikit melupakan rasa sepiku dengan bersikap seperti itu. Aku berjalan ke halaman belakang, nampak ada beberapa orang sedang duduk bercengkrama. Aku berjalan menuju sebuah bangku taman yang kosong. Di bawah pepohonan. Sambil menenangkan kembali pikiranku yang tampak keruh. Mencoba mencari tahu sebenarnya dimana aku ini. Kepalaku berdenyut-denyut. Dahiku mulai berkerut bingung, salah satu tanda aku ngga mendapatkan jawaban yang kucari. Tiba-tiba ada seorang cowok yang entah kenapa membuat jantungku berdebar tak karuan. Perasaan aneh apa ini? Cowok itu tersenyum memandangku. Cakep juga, pikirku. Tapi bukan ke-handsome-annya yang bikin aku gugup. Dia punya semacam kharisma yang membuatku tak bisa melepas tatapanku ke arahnya. Apalagi mata elangnya itu. Jujur baru kali ini aku merasakan debaran aneh seperti ini.
“Hai” sapanya. “boleh aku duduk ?” tanyanya sambil menunjuk tempat yang kosong di sebelahku. Aku mengangguk. Mengiyakan.
“Ian. Fian Kusuma” Katanya sambil mengulurkan tangan mengajak berkenalan. Dan aku pun melakukan hal yang sama.
“Anra. Anra Permatasari” sahutku.
“Anra??” katanya setengah tak percaya. “Anra anak SMA Merah Putih?” tanyanya lagi. Aku lagi-lagi mengangguk, dan ternyata Ian juga sekolah di tempat yang sama denganku. Aku sempat ngga percaya, karena jujur aku belum pernah liat ada cowok ini di sekolah. Apalagi kelasnya di sebelah kelasku pula. Emang beneran ada cowok model beginian di sekolah? Pikirku bingung. Aku kembali mengamatinya dari atas hingga bawah, mencoba mengingat-ingat mungkin aja ada pertemuan diantara aku dan dia yang terlewatkan.
“Heh..malah mandangin aku kayak gitu. Kenapa? Ada yang salah kalo aku satu sekolah denganmu?” Aku hanya menggeleng sembari meringis.
Ian ini ternyata temannya si Andre dia tau aku juga karena Andre sering bercerita tentang aku, termasuk penolakanku beberapa waktu lalu. Yang kata Ian bikin Andre shock karena baru pertama kali ini dia ditolak ama cewek. Aku tertawa. Lalu kami jadi bercerita panjang lebar, cerita kenapa aku bisa terdampar di sini, sendirian, cerita tentang ortuku yang workaholic, abangku yang ngebikin aku eneg buat deket ma makhluk yang namanya cowok, tentang kenapa aku merasa bahagia bila bisa menjadi anak yang biasa-biasa aja. Ian tuh ternyata bijak banget orangnya, dan sederhana. Salah satu hal yang bikin aku kesengsem ma dia. Dia yang malah ngasih tau aku tentang bagaimana kita seharusnya memaknai yang namanya hidup. Mensyukuri segala sesuatu yang udah dimiliki, dan menyayanginya. Ternyata, kedua orangtua Ian udah ngga ada. Dia tinggal di rumah pamannya. Berusaha mencukupi kebutuhan hidup sendiri dengan hasil kerja sampingannya. Well,….aku jadi merasa kalo selama ini ada banyak hal yang salah tentang pemikiranku memaknai hidup. Ngga ada yang salah dengan kesederhanaanku, hanya saja memaksakan diri dan berpura-pura menjadi orang yang kuat itulah yang membuatku makin ngga peduli terhadap keluargaku dan diriku sendiri. Aku jadi ngerti betapa berharganya sebuah keluarga untukku. Paling ngga aku masih bisa memeluk mereka ketika mereka pulang, menyambutnya, dan merasakan kehadiran mereka. Aku jadi malu dengan Ian. Pada diriku sendiri juga.
Udah beberapa hari ini kami berdua bertemu, bercanda bersama, berbagi suka dan duka. Di bangku yang sama pula. Benar-benar hari yang menyenangkan. Diam-diam aku telah jatuh cinta padanya. Jatuh cinta? Inikah cinta? Lagi-lagi aku terdiam takut untuk mempertanyakannya. Sebelum dia kembali ke kamarnya dia mengusap wajahku.
“Ra, aku seneng bisa kenal ma kamu. Ternyata kamu tuh ramah, baik pula. Inget ya Ra, kalo kamu ingin bahagia, jangan lihat kebahagiaan orang lain, tiap orang itu punya kebahagiaan yang nggak sama, justru kamu harus menciptakan sendiri kebahagiaan seperti apa yang kamu mau. Ya, Ra!?!” aku mengangguk dan tersenyum padanya. Suasana yang seperti ini membuat aku berani mengungkapkan perasaanku. Tapi belum sempat aku menyelesaikan kalimat “suka” ku kepadanya. Dia menghilang.
Ian lenyap, dan tiba-tiba semuanya menjadi putih.
***
Mataku terbuka, di sekelilingku nampak bunda, ayah, dan abangku. Hei, aku baru pertama kali melihat bunda dan abangku menangis seperti itu. Apalagi entah tiba-tiba bunda dan ayahku memelukku erat. Hei, ada apa ini? Aku bingung. Ternyata aku baru tau beberapa jam kemudian kalo aku udah koma selama tiga bulan. Kecelakaan itu membuat otakku sedikit bermasalah. Sehingga aku jadi tertidur panjang. Tiga bulan?? Gila..! Aku sendiri ngga percaya. Lalu Ian? Mimpikah itu? Entahlah. Kata Ayah aku harus bersyukur karena aku telah sadarkan diri, karena orang yang menabrakku sampai saat ini keadaanya masih koma juga. Sama kayak aku. Aku ngga bisa ngebayangin gimana hebatnya kecelakaan itu hingga bisa membuat dua orang koma seketika itu juga. Ya aku merasa bersyukur masih diberi kesempatan untuk melihat kembali dunia. Melihat keluargaku yang kini tengah berkumpul, teman-temanku. Akhhh…aku tengah menangis rupanya. Aku menebarkan pandanganku ke sekelilingku banyak bunga-bunga indah dengan pita-pita bertuliskan semoga cepet sembuh. Setelah aku bertanya pada bunda ternyata tiap hari Mirna datang untuk menjengukku. Bahkan dia mengkopi catatan selama aku terbaring di tempat ini. Terkadang juga temen-temen sekolahku dua minggu sekali menengokku. Sahabat-sahabatku memang pada baik. Apalagi sekarang Ayah dan bunda ada di sampingku. Abangku juga ternyata begitu merindukan kecerewetanku. Aku tertawa. Akkhh semuanya menjadi indah. Namun, aku merasa rindu pada seseorang, seseorang yang ternyata hanya menjadi mimpi dalam tidurku. Ian.
Siapapun dia, aku mencintainya.
Tiga hari kemudian aku mulai kembali ke sekolah.Teman-temanku pada heboh menyambut kedatanganku, apalagi para guru pun menyempatkan diri untuk memelukku. Hebat. Ternyata selama ini aku ngga sendiri. Bahkan Mirna yang tiap hari datang menengokku pun masih saja menangis melihat aku datang ke sekolah lagi. Duniaku kini tak lagi sepi. Aku rindu teman-teman, rindu pada para guru, rindu sekolah, rindu kantin, rindu makian Mirna, rindu lapangan basket, aku merindukan semua. Dan kini aku telah berada di antara mereka. Tiba-tiba aja aku kembali teringat pada Ian. Ian yang ngakunya satu sekolah denganku. Aku tersenyum sendiri begitu tau itu semua hanya ilusi. Tapi entah knapa semua itu nampak begitu nyata bagiku.
Di kantin sekolah….
“Mir, di sekolah kita ada yang namanya Fian Kusuma ngga sih?”Kelasnya 2 IPA 2. Ada ngga??!!Malah bengong kamu tuh!” agak kesal aku ngeliat tampang heran Mirna.
“Kamu belum tau ya?” tanyanya balik ke aku yang malah bikin aku penasaran.
“Tau apaan sih?” desakku.
“Dia kan yang nabrak kamu itu, sekarang dia masih koma di rumah sakit yang sama dengan kamu.” Aku terpana untuk beberapa saat. “Heiiii…Ra!! Kamu mo kemana???”
“ Ke rumah sakit!!!” teriakku pada Mirna yang makin bengong dengan tingkahku yang lari meninggalkan makanan yang barusan di pesan tanpa permisi itu.
***
Aku berlari di sepanjang koridor rumah sakit, ngga perduli tatapan para dokter, suster, atau pak satpam yang memelototiku, setelah aku bertanya ke resepsionis dimana kamar pasien Fian Kusuma,aku segera berlari menuju kamar tersebut. Tapi kosong.Tak ada Ian di sana. Lalu di mana dia? Benarkah itu Ian yang aku maksud? Aku justru makin ngga berani berharap. Aku berjalan lunglai menuju ke halaman belakang rumah sakit, tempat dulu aku dan Ian bertemu meski hanya dalam mimpiku. Seperti Déjàvu rasanya. Tapi begitu aku menatap sebuah bangku yang kini berada beberapa meter di depanku, bangku itu tak kosong. Ada seseorang di sana.Seorang cowok yang selama ini kurindukan. Ian. Akkhhh…Fian Kusuma tepatnya. Dia tersenyum menyambutku. Aku segera berlari ke arahnya dan mendarat di pelukannya. Dia nyata. Dia benar-benar ada. Dia bukan mimpi belaka.
“Selamat datang kembali..” Ian berbisik padaku.
“Aku suka kamu.” Aku makin mempererat pelukanku.
“ Dan aku juga” Fian meringis.
-the end-
(12 September 2006)
Ngomongin cowok plus cinta buat cewek semacam aku ini serasa “wasting time” bangeeet! Bukannya ngga minat, ngga suka, ato bagemana-bagemana seeehh…hanya aja, menurutku masih banyak hal yang pengen aku lakukan selain mikirin makhluk bernama cowok. Salah satunya dengan jadi anak yang ngebanggain ortu tentunya. Mungkin buat sebagian orang terkesan kaku, ngga gaul, konservatif atau apalah istilah-istilah yang ngegambarin betapa kunonya aku. Tapi guys, itulah aku. Biasa, sederhana, simple, dan ngga aneh-aneh. Dan sumpah…asli!!! Temen-temenku pada ngetawain pola pikirku yang kayak gitu. Anehkah aku? Bagiku punya segudang prestasi di skul, punya wajah yang ngga jelek-jelek banget, punya ortu yang tajir abis, punya sobat-sobat yang nyenengin, semua anugerah itu ngga harus digembor-gemborin kan?Meski begitu aku selalu berpenampilan biasa-biasa aja, berangkat skul naek angkot bahkan pernah juga jalan kaki walau habis itu kakiku pada pegel semua. Hehehe…tapi entah kenapa hal-hal sederhana seperti itulah yang membuatku merasa damai, tentram, dan bahagia. Mungkin kesederhanaan itu juga, yang kata temen-temenku sih ngebikin aku terlihat lebih dewasa. Lebih dewasa untuk cewek yang umurnya belum genap 17 taon kayak aku ini. Dan jawabanku lagi-lagi sederhana. “Dewasa itu ngga dilihat dari umur atau seberapa sederhananya kita, tapi dewasa itu bagaimana kita bisa memaklumi kekurangan orang lain, tersenyum bahagia karena kelebihan orang lain dan menyadari kekurangan serta kelebihan yang kita sendiri punya.”
“Ra…! Tungguin woi...” Mirna teman sebangkuku, sekaligus sahabat terbaikku berlari terengah menghampiriku. “..nih.” katanya sambil menyerahkan sebuah buku bergambar teddy bear.
Ternyata Mirna menemukan buku catatan kimiaku yang tertinggal di dalam laci mejaku. Aku secara reflek memeluknya hingga dia tak berkutik, maksudku sih sebagai perwujudan rasa terima kasih. Maklum bagiku ni buku amat sangat berharga keberadaannya. Begitu melihat raut mukanya yang makin merah padam aku segera melepaskan pelukan mautku itu. Dengan napas yang seadanya Mirna memakiku dan akhirnya kita berdua tertawa terbahak ngga jelas. Entah siapa yang memulai tapi tiba-tiba aja pembicaraan kita berdua berubah jadi ngomongin masalahku nolak si Andre kemaren.
“Gila…cowok sekeren dia kamu tolak juga?! Aneh deh kamu tu Ra. Beneran kamu sama sekali ngga tertarik ama makhluk super cool macam dia itu?”
“Ya ampuunnn, Mir…kamu tau sendiri kan, aku tuh males mikirin cowok. Kan dah ada sobat kayak kamu yang perhatiin aku.”
“Kamu ngga suka ama aku kan?? Merinding nih, Ra. Sumpah deh.” Mirna bergidik ngeri.
“Gebleg! Ya engggaaaaaklah…Aku tuh masih normal, kayak kamu, kayak anak cewek lain.
Tapi kamu tu kenal aku kan…” Kalimatku menggantung, karena aku tahu Mirna mengerti bahwa sekarang ini aku males mikirin cowok gara-gara abangku. Iya abangku yang tiap hari selalu aja gonta-ganti cewek. Buat mainan, gitu kata abangku kalo aku mulai nanya-nanya tentang kelakuannya. Dan bodohnya mau-maunya abangku itu diporotin uang sakunya. Aku jadi jijik, ngeri. Makanya aku ingin nunjukkin ke ortu kalo aku bisa jadi anak yang lebih baik dibandingin abangku itu, meski….ortuku hanya peduli ama pekerjaannya, bukan padaku ato abangku. Dan Mirna sebagai sahabatku tau. Bahwa sebenarnya di balik semua kedewasaanku, aku ngga bahagia. Si Mirna malah ngomong kalo seandainya dia jadi bundaku dia pasti bakalan khawatirin aku. Setelah aku tanya kenapa, justru jawabannya ngebuat aku tertawa terbahak. Karena saban hari hobinya nolakin cowok teruuuuuss. Begitu katanya. Lucu dia, apalagi dia ngomong gitu dengan ngedumel. Asli aku terbahak. Heran orang bundaku aja ngga peduli kenapa dia yang sewot gitu, setelah aku nanya lagi jawabannya ngga kalah bikin aku geli.
“Iya dong, jelas. Mana ada cewek yang ngga sebel liat seantero cowok cakep di skul kita ini pada nyatain cintanya ke kamu, tapi buntut-buntutnya kamu tolak juga. Mending tuh cowok buat kita-kita kan.” Pernyataan Mirna yang blak-blakan ini membuatku makin ngga bisa nahan tawa untuk kesekian kalinya. Lagi-lagi aku mengomentari pernyataan itu dengan sederhana. Kataku ke dia sih ngga ada yang maksa tu cowok-cowok nyatain cinta ke aku kan. Dan komentarku itu makin ngebuat Mirna menghujaniku dengan serentetan makiannya.Aku dan Mirna menyeberangi jalan di depan sekolahku. Seperti biasa halte di depan sekolahku itu seolah melambaikan tangannya mengajakku agar ikut bergabung bersama kerumunan manusia yang berseragam sama denganku. Hingga tiba-tiba pin bertuliskan “keep your own spirit” pemberian Mirna yang jadi kebangganku terjatuh saat aku memasukkan buku catatan kimia yang tadi ditemuin si Mirna. Aku membungkuk hendak mengambilnya, tapi begitu aku melihat sebuah motor sekelas motor balap melaju dengan kecepatan kencang ke arahku dan Mirna, entah sadar atau ngga aku mendorong Mirna agar menjauh. Dan tiba-tiba semuanya menjadi gelap.
***
Aku terbangun. Dengan kesadaran yang belum penuh. Aku merasa baru saja tertidur panjang dan bermimpi buruk. Aku tertabrak sebuah motor balap. Sepertinya aku selamat karena tiba-tiba aja aku terbangun. Tapi sepertinya itu bukan hanya mimpi karena sekarang ini aku terbangun di sebuah kamar yang terlihat asing untukku, berjendela lebar, bergorden putih kebiru-biruan, bertembok putih, dan bersih. Rumah sakit mungkin? Tapi di mana ayah dan bundaku?Akhhh..paling mereka sibuk seperti biasanya. Bekerja….bekerja…dan bekerja tiap hari.Abangku juga paling pergi ama gandengan barunya, padahal aku ngebutuhin peranan dia sebagai seorang kakak, ya seperti saat ini. Tapi….sudahlah aku toh ngga bisa berbuat apa-apa. Meski aku sebenarnya iri dengan teman-temanku termasuk pada Mirna juga. Punya keluarga yang sederhana, ketika makan malam bisa makan satu meja bersama. Jujur sebenarnya aku merindukan suasana itu. Sederhana, yah keluarga yang sederhana.Bahkan aku memberanikan diri naek angkot, karena dengan naek angkot aku merasa ngga sendirian ketika menuju perjalanan pulang ke rumah. Aku benci sendiri. Aku hanya berharap aku bisa sedikit melupakan rasa sepiku dengan bersikap seperti itu. Aku berjalan ke halaman belakang, nampak ada beberapa orang sedang duduk bercengkrama. Aku berjalan menuju sebuah bangku taman yang kosong. Di bawah pepohonan. Sambil menenangkan kembali pikiranku yang tampak keruh. Mencoba mencari tahu sebenarnya dimana aku ini. Kepalaku berdenyut-denyut. Dahiku mulai berkerut bingung, salah satu tanda aku ngga mendapatkan jawaban yang kucari. Tiba-tiba ada seorang cowok yang entah kenapa membuat jantungku berdebar tak karuan. Perasaan aneh apa ini? Cowok itu tersenyum memandangku. Cakep juga, pikirku. Tapi bukan ke-handsome-annya yang bikin aku gugup. Dia punya semacam kharisma yang membuatku tak bisa melepas tatapanku ke arahnya. Apalagi mata elangnya itu. Jujur baru kali ini aku merasakan debaran aneh seperti ini.
“Hai” sapanya. “boleh aku duduk ?” tanyanya sambil menunjuk tempat yang kosong di sebelahku. Aku mengangguk. Mengiyakan.
“Ian. Fian Kusuma” Katanya sambil mengulurkan tangan mengajak berkenalan. Dan aku pun melakukan hal yang sama.
“Anra. Anra Permatasari” sahutku.
“Anra??” katanya setengah tak percaya. “Anra anak SMA Merah Putih?” tanyanya lagi. Aku lagi-lagi mengangguk, dan ternyata Ian juga sekolah di tempat yang sama denganku. Aku sempat ngga percaya, karena jujur aku belum pernah liat ada cowok ini di sekolah. Apalagi kelasnya di sebelah kelasku pula. Emang beneran ada cowok model beginian di sekolah? Pikirku bingung. Aku kembali mengamatinya dari atas hingga bawah, mencoba mengingat-ingat mungkin aja ada pertemuan diantara aku dan dia yang terlewatkan.
“Heh..malah mandangin aku kayak gitu. Kenapa? Ada yang salah kalo aku satu sekolah denganmu?” Aku hanya menggeleng sembari meringis.
Ian ini ternyata temannya si Andre dia tau aku juga karena Andre sering bercerita tentang aku, termasuk penolakanku beberapa waktu lalu. Yang kata Ian bikin Andre shock karena baru pertama kali ini dia ditolak ama cewek. Aku tertawa. Lalu kami jadi bercerita panjang lebar, cerita kenapa aku bisa terdampar di sini, sendirian, cerita tentang ortuku yang workaholic, abangku yang ngebikin aku eneg buat deket ma makhluk yang namanya cowok, tentang kenapa aku merasa bahagia bila bisa menjadi anak yang biasa-biasa aja. Ian tuh ternyata bijak banget orangnya, dan sederhana. Salah satu hal yang bikin aku kesengsem ma dia. Dia yang malah ngasih tau aku tentang bagaimana kita seharusnya memaknai yang namanya hidup. Mensyukuri segala sesuatu yang udah dimiliki, dan menyayanginya. Ternyata, kedua orangtua Ian udah ngga ada. Dia tinggal di rumah pamannya. Berusaha mencukupi kebutuhan hidup sendiri dengan hasil kerja sampingannya. Well,….aku jadi merasa kalo selama ini ada banyak hal yang salah tentang pemikiranku memaknai hidup. Ngga ada yang salah dengan kesederhanaanku, hanya saja memaksakan diri dan berpura-pura menjadi orang yang kuat itulah yang membuatku makin ngga peduli terhadap keluargaku dan diriku sendiri. Aku jadi ngerti betapa berharganya sebuah keluarga untukku. Paling ngga aku masih bisa memeluk mereka ketika mereka pulang, menyambutnya, dan merasakan kehadiran mereka. Aku jadi malu dengan Ian. Pada diriku sendiri juga.
Udah beberapa hari ini kami berdua bertemu, bercanda bersama, berbagi suka dan duka. Di bangku yang sama pula. Benar-benar hari yang menyenangkan. Diam-diam aku telah jatuh cinta padanya. Jatuh cinta? Inikah cinta? Lagi-lagi aku terdiam takut untuk mempertanyakannya. Sebelum dia kembali ke kamarnya dia mengusap wajahku.
“Ra, aku seneng bisa kenal ma kamu. Ternyata kamu tuh ramah, baik pula. Inget ya Ra, kalo kamu ingin bahagia, jangan lihat kebahagiaan orang lain, tiap orang itu punya kebahagiaan yang nggak sama, justru kamu harus menciptakan sendiri kebahagiaan seperti apa yang kamu mau. Ya, Ra!?!” aku mengangguk dan tersenyum padanya. Suasana yang seperti ini membuat aku berani mengungkapkan perasaanku. Tapi belum sempat aku menyelesaikan kalimat “suka” ku kepadanya. Dia menghilang.
Ian lenyap, dan tiba-tiba semuanya menjadi putih.
***
Mataku terbuka, di sekelilingku nampak bunda, ayah, dan abangku. Hei, aku baru pertama kali melihat bunda dan abangku menangis seperti itu. Apalagi entah tiba-tiba bunda dan ayahku memelukku erat. Hei, ada apa ini? Aku bingung. Ternyata aku baru tau beberapa jam kemudian kalo aku udah koma selama tiga bulan. Kecelakaan itu membuat otakku sedikit bermasalah. Sehingga aku jadi tertidur panjang. Tiga bulan?? Gila..! Aku sendiri ngga percaya. Lalu Ian? Mimpikah itu? Entahlah. Kata Ayah aku harus bersyukur karena aku telah sadarkan diri, karena orang yang menabrakku sampai saat ini keadaanya masih koma juga. Sama kayak aku. Aku ngga bisa ngebayangin gimana hebatnya kecelakaan itu hingga bisa membuat dua orang koma seketika itu juga. Ya aku merasa bersyukur masih diberi kesempatan untuk melihat kembali dunia. Melihat keluargaku yang kini tengah berkumpul, teman-temanku. Akhhh…aku tengah menangis rupanya. Aku menebarkan pandanganku ke sekelilingku banyak bunga-bunga indah dengan pita-pita bertuliskan semoga cepet sembuh. Setelah aku bertanya pada bunda ternyata tiap hari Mirna datang untuk menjengukku. Bahkan dia mengkopi catatan selama aku terbaring di tempat ini. Terkadang juga temen-temen sekolahku dua minggu sekali menengokku. Sahabat-sahabatku memang pada baik. Apalagi sekarang Ayah dan bunda ada di sampingku. Abangku juga ternyata begitu merindukan kecerewetanku. Aku tertawa. Akkhh semuanya menjadi indah. Namun, aku merasa rindu pada seseorang, seseorang yang ternyata hanya menjadi mimpi dalam tidurku. Ian.
Siapapun dia, aku mencintainya.
Tiga hari kemudian aku mulai kembali ke sekolah.Teman-temanku pada heboh menyambut kedatanganku, apalagi para guru pun menyempatkan diri untuk memelukku. Hebat. Ternyata selama ini aku ngga sendiri. Bahkan Mirna yang tiap hari datang menengokku pun masih saja menangis melihat aku datang ke sekolah lagi. Duniaku kini tak lagi sepi. Aku rindu teman-teman, rindu pada para guru, rindu sekolah, rindu kantin, rindu makian Mirna, rindu lapangan basket, aku merindukan semua. Dan kini aku telah berada di antara mereka. Tiba-tiba aja aku kembali teringat pada Ian. Ian yang ngakunya satu sekolah denganku. Aku tersenyum sendiri begitu tau itu semua hanya ilusi. Tapi entah knapa semua itu nampak begitu nyata bagiku.
Di kantin sekolah….
“Mir, di sekolah kita ada yang namanya Fian Kusuma ngga sih?”Kelasnya 2 IPA 2. Ada ngga??!!Malah bengong kamu tuh!” agak kesal aku ngeliat tampang heran Mirna.
“Kamu belum tau ya?” tanyanya balik ke aku yang malah bikin aku penasaran.
“Tau apaan sih?” desakku.
“Dia kan yang nabrak kamu itu, sekarang dia masih koma di rumah sakit yang sama dengan kamu.” Aku terpana untuk beberapa saat. “Heiiii…Ra!! Kamu mo kemana???”
“ Ke rumah sakit!!!” teriakku pada Mirna yang makin bengong dengan tingkahku yang lari meninggalkan makanan yang barusan di pesan tanpa permisi itu.
***
Aku berlari di sepanjang koridor rumah sakit, ngga perduli tatapan para dokter, suster, atau pak satpam yang memelototiku, setelah aku bertanya ke resepsionis dimana kamar pasien Fian Kusuma,aku segera berlari menuju kamar tersebut. Tapi kosong.Tak ada Ian di sana. Lalu di mana dia? Benarkah itu Ian yang aku maksud? Aku justru makin ngga berani berharap. Aku berjalan lunglai menuju ke halaman belakang rumah sakit, tempat dulu aku dan Ian bertemu meski hanya dalam mimpiku. Seperti Déjàvu rasanya. Tapi begitu aku menatap sebuah bangku yang kini berada beberapa meter di depanku, bangku itu tak kosong. Ada seseorang di sana.Seorang cowok yang selama ini kurindukan. Ian. Akkhhh…Fian Kusuma tepatnya. Dia tersenyum menyambutku. Aku segera berlari ke arahnya dan mendarat di pelukannya. Dia nyata. Dia benar-benar ada. Dia bukan mimpi belaka.
“Selamat datang kembali..” Ian berbisik padaku.
“Aku suka kamu.” Aku makin mempererat pelukanku.
“ Dan aku juga” Fian meringis.
-the end-
(12 September 2006)
Komentar
Posting Komentar