KADO UNTUK REI…
Awan yang bergelayut mesra di langit sana seperti telah siap untuk menumpahkan semua tangisnya. Langit hitam pekat, aku mempercepat langkah kakiku. Menuju halte bus. Pulang ke rumah. dengan segala kehangatan di sana. Kehangatan yang kumaksud di sini bukan seperti yang ada di dalam sinema-sinema elektronik, dengan anggota keluarga lengkap berkumpul di ruang keluarga, dengan meja makan penuh masakan-masakan khas buatan seorang ibu, adik-kakak akur bercengkrama, seorang bapak yang sedang menyeruput secangkir teh sembari membaca Koran, ditambah dengan si Pus menjadi binatang peliharaan yang juga ikut senang. Bukan, bukan seperti itu gambarannya. Tidak semewah itu. Aku hanya tinggal berdua dengan Mbok Inah, orang yang udah merawat aku sedari kecil. Aku anak tunggal, dan kedua orang tuaku telah meninggal pas aku berumur enam tahun. Entahlah aku sendiri tidak begitu ingat akan peristiwa itu. Bagiku Mbok Inah udah aku anggap kayak orangtuaku sendiri. Kebetulan dia juga ngga punya anak. Di rumah tua peninggalan orangtuaku itu aku hidup berkecukupan, paling tidak aku bersyukur kedua orangtuaku ngerti betul tentang asuransi dan warisan, dan lagi betapa aku tenang pikir karena orangtuaku adalah orang-orang yang baik dan tidak punya peninggalan hutang seperti yang sering aku dengar dari beberapa media tentang keluarga yang meninggal dan menyisakan banyak hutang yang bikin keturunan-keturunan mereka berkerut-kerut dahinya dan akhirnya mati bunuh diri. Tragis dan betapa malangnya nasib mereka. Dan aku bersyukur meski aku ngga begitu ingat akan kehangatan kasih sayang mereka padaku tapi paling tidak aku tidak mereka telantarkan secara material setelah kepergian mereka. Ada Mbok Inah yang baik, dan penyayang itu sudah merupakan bonus buat aku. Itu saja lebih dari cukup. Meski rumahku terlihat sepi tapi aku merasa di dalam sana hangat, karena hari ini Mbok Inah membuatkanku semangkuk sup jagung kesukaanku. Apalagi dengan cuaca seperti sekarang ini, pasti nikmat sekali. Ditambah dengan segelas coklat hangat, makan sambil ngobrol dengan Mbok Inah. bayangan itulah yang menurutku hangat dan membuatku makin ingin untuk segera sampai ke rumah.
###
Aku basah kuyup, payungku ketinggalan di dalam bus. Bodohnya aku. Sifat pelupaku ini ingin sekali kutendang sejauh-jauhnya. Tapi tetep aja meski awalnya mental pergi tapi beberapa hari lagi mental balik. Pernah gara-gara penyakit lupaku ini, suatu hari pas kuliah aku lupa kalau ada presentasi individu. Alhasil aku yang harusnya presentasi tepat hari itu, akhirnya batal. Dengan pengurangan nilai sebanyak dua poin aku akhirnya diperbolehkan Pak Dosen untuk presentasi minggu depannya. Dan sejak saat itu aku selalu membawa note kecil untuk mencatat segala janji dan apa saja di dalamnya. Agar aku tak lupa tentu saja. Tapi khusus kali ini akan kutambahkan untuk selalu mengingat agar tidak meninggalkan payung sembarangan di dalam bus ke dalam catatanku.
“Ya ampun Mbak Tina…kok basah-basahan gitu tho? Bukannya tadi bawa payung?”. Nah, ini yang bikin aku kangen ama si Mbok yang satu ini.
“Ketinggalan di bus Mbok..” jawabku lugas.
“Nah, ini yang bikin Mbok kadang sebel, pelupanya si Non yang satu ini nih.” Mbok Inah memberikanku selembar handuk sambil tersenyum lembut.
“ Ini Mbak sup jagungnya, sesuai janji mbok, tapi ganti baju dulu dong Mbak, baru dimakan supnya”
Aku mengangguk. Setelah aku ganti baju, aku menyambut hangat sup yang mengepul dengan segelas coklat hangat di sampingnya.
“Mbok, makan bareng dong sini.” Aku sedang ingin bermanja dengan Mbok Inah. Aku mempersilakan Mbok Inah duduk di depanku dengan tangannya yang masih basah.
“Iya, iya Mbok temenin Mbak Tina makan.” Mbok Inah pun juga terlihat sedang menyeruput sup jagung buatannya. “Ada kabar apa di kampus Mbak? Janji sama Pak Anwar-nya ngga kelupaan kan?”
“Ya ampun, Mbok!!!!” Aku menepuk jidatku. Melirik muka Mbok Inah yang juga mulai panik. Kemudian aku tersenyum usil. “Hehehe…becanda Mbok, ngga lupa kok.”
“Aduh Mbak Tina ini,..bikin Mbok kaget aja. Takutnya nanti kalo janji sama pak Anwarnya lupa, Mbak Tina harus nungguin Pak Anwar dua bulan lagi buat ketemuan. Ngga kelar-kelar dong nanti skripsinya.”
“Iya Mbok, iya. Eh, iya Mbok sebentar….” aku buru-buru berlari mengambil sesuatu di dalam tasku. “Ini Mbok, ada oleh-oleh buat Mbok” aku menyodorkan sebuah bingkisan ke Mbok Inah.
“Apa ini Mbak?” Mbok Inah tercengang. “Mbok buka sekarang ya?boleh?”
“Ya boleh dong, buka aja Mbok.” jawabku sambil menyelesaikan suapan terakhirku.
Senang rasanya aku melihat mata Mbok Inah berbinar-binar senang begitu Ia membuka bingkisan itu. Aku membelikan Mbok Inah sebuah mukena baru. Karena aku melihat mukenanya sudah agak kumal dan lusuh.
“Terima kasih ya Mbak Tina…”
###
Kurebahkan tubuhku di atas kasur. Kuhela napas panjang..mengusir lelah dan penat. Kepalaku tiba-tiba pusing. Pengaruh Si Kuyup tadi mungkin.
“Aaarghhh…” Aku memijit kepalaku. Bukannya sakitnya makin ilang, tapi malah bertambah hebat saja agakna. Aku mengerang lirih, takut membuat khawatir Mbok Inah. Aku diam. Mencoba mengambil napas dalam-dalam kemudian melepaskannya…kupejamkan mata. Membayangkan segala kesejukan dan keindahan yang tersisa di dalam otakku. Fuuuiiihhh sudah agak mendingan. Nyerinya perlahan berkurang. Aku berusaha untuk bangkit. Aku ingin membuka kedua jendela kamarku yang besar dan kuno itu. Aku ingin merasakan kedamaian tatkala bau tanah basah menerobos indera penciumanku.
“Kriieeeetttt…” suaranya berdecit.
“Hmmmmm,…baunya membuat perasaan tenang. Menentramkan. Aku kembali merebahkan badanku dan menggosok ujung keningku dengan minyak angin. Aku tertidur pulas beberapa saat, hingga sebuah suara membangunkanku.
“Tin..Tina…aku datang nih…” dan aku merasa tubuhku diguncang-guncang. Aku membuka mataku. Pandanganku masih kabur. Aku samar-samar melihat sosok Rei. Duduk di sebelahku dan membelai rambutku. Lembut dan penuh kasih.
Aku menggeliat. Mataku malas untuk terbuka lebih. Rasanya berat. Di antara ketidaksadaranku aku hanya bisa berkata…”Terima kasih kamu datang, Rei.” Dan aku pun kembali pulas.
Setengah jam kemudian…..
Terdengar lagu “Sunday Morning” nya Maroon 5. Aku reflek membuka mata dan mencari-cari ponsel yang entah-dimana itu.
“Hu-uuuuh…di mana sih ponselku??” aku bergumam atau lebih tepatnya memaki tak jelas. Aku berusaha menggapai-gapai sisi tempat tidurku, jemariku sibuk mencari-cari. Akhirnya karena sebal aku bangkit dari rebahku. Aku melihat ponselku menyala-nyala, tergeletak di atas meja belajarku. Aku pasrah. Sepertinya aku harus memaksa diri untuk beranjak dari kenyamananku. Dengan langkah gontai aku menuju ke arah meja belajarku. Tapi dasar,…membuat makin manyun wajahku, begitu ponsel berhasil kuraih, deringnya mati begitu saja. Aku melempar kembali ponselku begitu saja ke atas meja belajarku. Tanpa melihat siapa yang menelepon barusan. Terlanjur kesal. Tapi, tak berapa lama aku tersentak kaget.
“Rei,..?” Aku melihatnya sedang berdiri di pojokan kamar, dan dia hanya memberiku sebuah senyuman.
“Udah hilang pusingnya?” Tanyanya penuh peduli.
Aku mengangguk perlahan. “Iya. Lumayan.”
Sebenarnya, aku masih bingung akan kedatangan Rei yang tiba-tiba seperti ini. BUkan pertama kalinya dia mengejutkanku seperti tadi. Dia sering membuatku kaget.
Sepertinya dia begitu menikmati setiap raut muka kagetku.
“Apa yang membawamu kemari, Rei?” aku mengernyitkan dahi. Bingung. Dan ingin tahu.
“Kamu Tin. Aku lihat kamu sakit. Makanya aku ingin tahu keadaanmu saat ini. Kalo boleh jujur…aku sebenarnya cukup sering mengunjungimu. Kamu saja yang tidak tahu atau pura-pura tidak perduli. Tadi saja pasti kamu juga tak sadar jika aku telah datang mengunjungimu. Dan lagi-lagi dia mengakhiri kalimatnya dengan sebuah senyuman. Senyuman yang membuatku tenang dan rindu.
Aku terduduk di atas tempat tidurku. Memandang sosok Rei seakan tidak percaya kalau dia masih saja peduli. Dia begitu setia. Padahal lama sekali aku telah berusaha mengenyahkan dia, melenyapkannya dari pikiranku. Aku sudah hampir berhasil tapi tetap saja dia muncul semaunya. Sekenanya. Bahkan kebiasaannya ketika muncul di dalam kamarku adalah mencari-cari lagu kesukaannya dan memutarnya. Seperti yang dia lakukan seperti saat ini. Lagu favoritnya tidaklah pasti. Terkadang lagu yang dia nyanyikan atau yang dia ingin dengarkan adalah lagu-lagu yang menggambarkan keadaannya saat itu.
Atau bahkan bisa jadi lagu itu adalah gambaran perasaannya yang tidak bisa secara eksplisit tersampaikan.
“Don’t go changing any better. This, I promise from the start. I just need someone that I can talk to. I don’t need smart conversation…” (the way you are)
Dia mulai menyanyi diiringi dengan kaset CD di belakangnya. Kubiarkan dia. Aku hanya diam. Entah mungkin aku terlalu lelah. Sepuluh tahun aku mencoba untuk menganggap Rei tak ada, namun sepuluh tahun ini aku baru sadar bahwa dia memang nyata dan mungkin akan selalu bersamaku. Dalam setiap napasku di rumah ini. Aku tidak begitu ingat kapan Rei mulai menampakkan diri di hadapanku. Entahlah, aku sendiri adalah si Pelupa. Jadi, aku tidak lagi peduli dengan pertanyaan-pertanyaan ‘Kapan Rei muncul, kenapa dia muncul dan bagaimana dia muncul’. Namun, seingatku dia muncul tatkala aku terjatuh di depan pohon mahoni depan rumah waktu aku berumur lima tahun. Aku menangis kencang. Terlebih aku ingat betul lututku terluka dan berdarah. Aku masih terus saja menangis kalo Rei tidak menolongku, kalo Rei tidak memberikanku sebuah permen, kalo Rei tidak membersihkan lukaku dan mengobatinya. Tidak ada siapapun saat itu. Tidak ada Mbok Inah, tidak ada bapak, tidak ada ibu. Yang kutahu aku sendirian saat itu. Beruntung ada Rei. Dia menemaniku sampai aku berhenti menangis. Hal itu membekas dalam ingatanku karena betapa aneh ketika Mbok Inah datang tergopoh-gopoh dengan Ibu yang juga tidak kalah paniknya, Rei yang sedari tadi di sampingku tiba-tiba menghilang. Benar-benar hilang. Lenyap tak ada bekas. Hari itu adalah hari ulang tahunku yang kelima. Tanggal 30 April 1992 adalah menjadi awal mula kisahku dan Rei. Dan setelah kepergian kedua orangtuaku Rei makin dekat denganku.
# # #
I have a dream, a song to sing
To help me cope with anything
If you see the wonder of a fairy tale
You can take the future even if you fail
I believe in angels
Something good in everything I see
I believe in angels
When I know the time is right for me
I'll cross the stream - I have a dream
(ABBA-I Have A Dream)
“Tin..malam ini aku akan pergi”. Aku menatapnya. Mencari maksud dari kalimatnya barusan.
“Pergi..?” Tanyaku masih bingung. “Tapi pulang lagi kan?” Entah kenapa aku tiba-tiba jadi cemas. Apalagi tampak mimik mukanya yang jadi serius.
Dia menatapku tajam, dia sering melihatku seperti itu tapi rasanya tidak seperti saat ini. Aku yang selama sepuluh tahunan ini berusaha untuk mengenyahkannya, berusaha untuk tidak peduli pada keberadaannya, dan tidak mempercayainya tiba-tiba ada rasa kehilangan. Aku tidak mau dia pergi. Aku tidak mau kehilangan teman seperti dia. Yang selalu setia, yang perhatian, yang suka menggertak, yang terkadang bikin sebal, aku juga tidak ingin jogednya lenyap, tak mau nyanyian dengan suara cemprengnya tak lagi temani lelapku.
“Rei,…kamu benar-benar akan pergi?” Aku bertanya sekali lagi. Berharap matanya yang lekat itu tiba-tiba tertawa, berharap ada simpul-simpul senyum di ujung-ujung bibirnya, berharap dia hanya menggodaku seperti biasanya. Tapi yang kudapat hanya sebuah kediaman. Dia seperti tidak menapakkkan kakinya di sini. Di tempat berpetak 4x5, di tempat yang biasanya dia gunakan untuk menari, sebuah dunia yang sering dia gunakan untuk berdeklamasi.
“Rei…?” Akh…dia serius rupanya. Aku pegang kedua tangannya. Dingin. Matanya masih menatapku, aku ngeri, aku takut. “Kamu ngga akan kemari lagi ya?”
Tiba-tiba dia bangkit dari duduknya. Lelah mungkin dia menghadapi pertanyaan-pertanyaan monotonku. Atau mungkin dia sudah bosan padaku. Dan malas melihat mukaku.
Aku mengernyitkan dahi, heran. Kulihat dia mengambil CD, memasukkan CD ke dalam player dan terdengarlah suara Duncan Sheik. Akkhh…Lagu ini, lagu yang dulu sering aku dengarkan. Yang sering aku
nyanyikan tiap kali aku mandi bak konser. LAgu yang pernah aku nyanyikan untuk mempertanyakan segala misteri tentang Rei. LAgu ini. Wishfull Thinking
Listen to the waves. Everything communicates. Will it ever be. Anything more. Than wishful thinking?
Oh no there you go. Looked away and. Missed the show. How much wasted time. Will you survive?
Feel the blades of grass. How it brings you back. It will always be. Only as green. As you can see
Oh no there you go. Looked away and. Missed the show. How much wasted time. Will you survive?
Oh yeah fooled again. I don't know how .And I don't know when. Not much else to blame. But wishful thinking. Little breakdowns. In coastal towns. They come suddenly. Crashing over you. They come easily
I'm falling. Through the skies. And frozen places
Oh no there you go. Looked away and. Missed the show. How much wasted time. Will you survive
Oh yeah fooled again. I don't know how. And I don't know when. Not much else to blame. But wishful thinking
And I try to realize. That I needn't look. Any further. The whole of The universe. Is plain to see. And I try not to rely. On another world. Or the future
The whole of The universe. Is a mystery
And it gets me over
It gets me over you ohhh
And it gets me over
It gets me over you
Langit sudah berwarna keemasan. Sinar-sinarnya memasuki kamarku. Sinarnya membuatku silau, hingga REi hanya tampak seperti siluet yang sedang berdiri menatap senja melalui jendela kamar yang terbuka lebar.
“Masih ingat kamu Tin,…kita bertemu pertama kali di bawah pohon mahoni itu. Pohon itu berarti sudah cukup tua ya…tapi aneh, dia masih terlihat kuat. Kita juga kuat seperti itu tidak ya?” Kemudian dia berbalik. Punggungnya tak lagi terlihat. Dia datang mendekat. Dan meraih tanganku.
“ Pukul duabelas malam nanti, aku pergi Tin. Benar-benar akan pergi. Kamu dewasa kini. Tak ada lagi tempat untukku di pikiranmu, di hatimu, di nadi-nadimu. Semuanya telah tertutup rapat. Kamu sudah besar, Tin. Kamu tidak lagi butuh aku.”
“Rei…? kamu serius ya?” Aku masih saja berharap dia menggelengkan kepala. Membuat pasti pada si Tidak. Tapi yang kulihat adalah dia tersenyum dan menganggukkan kepala. Aku lemas. Sejujurnya aku takut kehilangan dia. Cuma dia yang tahu aku, hanya dia yang memahami aku. HAnya dia.
# # #
…..
Tiup lilinnya Rei, hari ini kita akan merayakan lima belas tahun kebersamaan kita. Hari ini kita akan berpesta. Sepuluh detik lagi Rei, sepuluh detik lagi. Kita rayakan pertemuan dan perpisahan kita. Di tempat ini, di bawah kerindangan SI Mahoni. Ada namamu dan namaku yang terukir di batang tubuhnya. Maaf Mahoni,..membuat kulitmu sakit. Aku ingin kamu menjadi saksi bahwa pernah ada Rei yang singgah dalam kehidupanku. Itu saja.
…..
tujuh…delapan…sembilan….sepuluh…….
Tiup lilinnya Rei, aku sudah bersusah membuat agar-agar coklat untukmu. Tak sempat aku membuatkan sebuah tart. Mendadak sekali kepergianmu. Nah, nikmatilah teh hitam yang berbaur dengan kapulaga dan jahe yang kubuat ini. Khusus untukmu. Spesial untuk hari ini. Lima belas tahun Rei. Lima belas tahun…kamu begitu setia menjagaku. Kamu kuat, kamu rapuh. Kamu nyata, kamu bias. Kamu melankolis, dan kamu satu-satunya yang memakiku ketika aku tak bisa tidur lebih dini. Kamu baik Rei, terlepas dari sikap kerasmu. Kamu lembut meski kamu meledak dalam diam. Kamu pandai membaca situasi. Kamu berharga Rei.
“Bagaimana Rei? Enak agar-agar buatanku? Bagaimana dengan minumannya? Suka?” Aku menatapmu. Dan kali ini aku tersenyum. Melihatmu tertawa.
“Ini Rei, ada kado untukmu”. Aku memberinya sebuah kalung perak. Aku kaitkan kalung itu di lehernya.
“Simpan ya…” Lalu dia mengusap wajahku. MAtanya sedikit berkaca. Aku hanya tersenyum. Seolah mati rasa, bingung harus bagaimana. Aku tidak ingin kehilangan dia. Tapi dia memang harus pergi. Cepat atau lambat.
Tiup lilinnya Rei, hari ini kita akan merayakan lima belas tahun kebersamaan kita. Hari ini kita akan berpesta. Tiup lilinnya Rei. Kamu pun menghilang. Keningku masih terasa hangat karena kecupanmu.
“Selamat Tinggal Rei,….terima kasih untuk semuanya.”
# # #
“Ya Ampuuunnn…pantas saja dari tadi Mbok ketuk pintunya. Tapi ngga ada jawaban.” Mbok Inah tiba-tiba datang membangunkanku. Menyadarkanku bahwa aku telah kembali ke duniaku.
“Tadi dapet telepon dari Mbak Sari? Kata Mbak Sari, Handphone Mbak Tina ngga diangkat-angkat. Makanya dia terus telepon ke rumah. Mbak Sari mau makan malam bareng kita Mbak.” Sari adalah sahabat deketku, teman baikku. Aku memberi Mbok Inah sebuah anggukan sebagai jawaban.
Aku meminta Mbok Inah untuk diam karena aku mendengar lagu Wishfull Thinking dari Duncan Sheik membahana di dalam kamarku. Radio. Iya aku yakin itu. Aku tidak ingat kalau aku memutarnya. Tapi radio? sejak kapan aku mengubah fungsi tape besarku jadi radio. Rei, kamu masih menjagaku ya?
Aku berjalan membuka jendela kamar lagi. Angin membandel hari ini. Aku melihat dengan jelas pohon mahoni itu tumbuh makin kuat. Makin besar. Hanya pohon ini yang gagah. Tidak ada yang menandingi. Bahkan pohon lain di kompleks ini. Hanya satu-satunya pohon mahoni yang kuat, yang gagah, yang ada sayatan namaku dan nama Rei di batang tubuhnya.
Rei…teman khayalku. Teman yang setia menjagaku. Rei yang bandel, Rei yang iseng, Rei yang serius.
Aku merindukanmu Rei.
Hari itu dimana kita berpesta berdua merayakan kebersamaan dan perpisahan. Setahun Yang lalu Rei. Setahun yang lalu.
Aku merasakan kehangatan sinar-sinar matahari yang menerobos, menembus sel-sel kulitku. Langit tidak lagi mendung. LAngit bersinar keemasan. Selamat sore Rei……
“Mbak Tin? Sedang ngelamun?” Mbok INah kembali menyadarkanku. “ INi, jatuh dari atas meja belajarnya mbak” Mbok Inah menyodorkan seuntai kalung perak padaku.
Ikatanku dan Rei. Tanda sayangku pada Rei.
“Terima kasih, Mbok” Aku menerimanya ke dalam genggamanku. Hangat.
30 April 2008
Awan yang bergelayut mesra di langit sana seperti telah siap untuk menumpahkan semua tangisnya. Langit hitam pekat, aku mempercepat langkah kakiku. Menuju halte bus. Pulang ke rumah. dengan segala kehangatan di sana. Kehangatan yang kumaksud di sini bukan seperti yang ada di dalam sinema-sinema elektronik, dengan anggota keluarga lengkap berkumpul di ruang keluarga, dengan meja makan penuh masakan-masakan khas buatan seorang ibu, adik-kakak akur bercengkrama, seorang bapak yang sedang menyeruput secangkir teh sembari membaca Koran, ditambah dengan si Pus menjadi binatang peliharaan yang juga ikut senang. Bukan, bukan seperti itu gambarannya. Tidak semewah itu. Aku hanya tinggal berdua dengan Mbok Inah, orang yang udah merawat aku sedari kecil. Aku anak tunggal, dan kedua orang tuaku telah meninggal pas aku berumur enam tahun. Entahlah aku sendiri tidak begitu ingat akan peristiwa itu. Bagiku Mbok Inah udah aku anggap kayak orangtuaku sendiri. Kebetulan dia juga ngga punya anak. Di rumah tua peninggalan orangtuaku itu aku hidup berkecukupan, paling tidak aku bersyukur kedua orangtuaku ngerti betul tentang asuransi dan warisan, dan lagi betapa aku tenang pikir karena orangtuaku adalah orang-orang yang baik dan tidak punya peninggalan hutang seperti yang sering aku dengar dari beberapa media tentang keluarga yang meninggal dan menyisakan banyak hutang yang bikin keturunan-keturunan mereka berkerut-kerut dahinya dan akhirnya mati bunuh diri. Tragis dan betapa malangnya nasib mereka. Dan aku bersyukur meski aku ngga begitu ingat akan kehangatan kasih sayang mereka padaku tapi paling tidak aku tidak mereka telantarkan secara material setelah kepergian mereka. Ada Mbok Inah yang baik, dan penyayang itu sudah merupakan bonus buat aku. Itu saja lebih dari cukup. Meski rumahku terlihat sepi tapi aku merasa di dalam sana hangat, karena hari ini Mbok Inah membuatkanku semangkuk sup jagung kesukaanku. Apalagi dengan cuaca seperti sekarang ini, pasti nikmat sekali. Ditambah dengan segelas coklat hangat, makan sambil ngobrol dengan Mbok Inah. bayangan itulah yang menurutku hangat dan membuatku makin ingin untuk segera sampai ke rumah.
###
Aku basah kuyup, payungku ketinggalan di dalam bus. Bodohnya aku. Sifat pelupaku ini ingin sekali kutendang sejauh-jauhnya. Tapi tetep aja meski awalnya mental pergi tapi beberapa hari lagi mental balik. Pernah gara-gara penyakit lupaku ini, suatu hari pas kuliah aku lupa kalau ada presentasi individu. Alhasil aku yang harusnya presentasi tepat hari itu, akhirnya batal. Dengan pengurangan nilai sebanyak dua poin aku akhirnya diperbolehkan Pak Dosen untuk presentasi minggu depannya. Dan sejak saat itu aku selalu membawa note kecil untuk mencatat segala janji dan apa saja di dalamnya. Agar aku tak lupa tentu saja. Tapi khusus kali ini akan kutambahkan untuk selalu mengingat agar tidak meninggalkan payung sembarangan di dalam bus ke dalam catatanku.
“Ya ampun Mbak Tina…kok basah-basahan gitu tho? Bukannya tadi bawa payung?”. Nah, ini yang bikin aku kangen ama si Mbok yang satu ini.
“Ketinggalan di bus Mbok..” jawabku lugas.
“Nah, ini yang bikin Mbok kadang sebel, pelupanya si Non yang satu ini nih.” Mbok Inah memberikanku selembar handuk sambil tersenyum lembut.
“ Ini Mbak sup jagungnya, sesuai janji mbok, tapi ganti baju dulu dong Mbak, baru dimakan supnya”
Aku mengangguk. Setelah aku ganti baju, aku menyambut hangat sup yang mengepul dengan segelas coklat hangat di sampingnya.
“Mbok, makan bareng dong sini.” Aku sedang ingin bermanja dengan Mbok Inah. Aku mempersilakan Mbok Inah duduk di depanku dengan tangannya yang masih basah.
“Iya, iya Mbok temenin Mbak Tina makan.” Mbok Inah pun juga terlihat sedang menyeruput sup jagung buatannya. “Ada kabar apa di kampus Mbak? Janji sama Pak Anwar-nya ngga kelupaan kan?”
“Ya ampun, Mbok!!!!” Aku menepuk jidatku. Melirik muka Mbok Inah yang juga mulai panik. Kemudian aku tersenyum usil. “Hehehe…becanda Mbok, ngga lupa kok.”
“Aduh Mbak Tina ini,..bikin Mbok kaget aja. Takutnya nanti kalo janji sama pak Anwarnya lupa, Mbak Tina harus nungguin Pak Anwar dua bulan lagi buat ketemuan. Ngga kelar-kelar dong nanti skripsinya.”
“Iya Mbok, iya. Eh, iya Mbok sebentar….” aku buru-buru berlari mengambil sesuatu di dalam tasku. “Ini Mbok, ada oleh-oleh buat Mbok” aku menyodorkan sebuah bingkisan ke Mbok Inah.
“Apa ini Mbak?” Mbok Inah tercengang. “Mbok buka sekarang ya?boleh?”
“Ya boleh dong, buka aja Mbok.” jawabku sambil menyelesaikan suapan terakhirku.
Senang rasanya aku melihat mata Mbok Inah berbinar-binar senang begitu Ia membuka bingkisan itu. Aku membelikan Mbok Inah sebuah mukena baru. Karena aku melihat mukenanya sudah agak kumal dan lusuh.
“Terima kasih ya Mbak Tina…”
###
Kurebahkan tubuhku di atas kasur. Kuhela napas panjang..mengusir lelah dan penat. Kepalaku tiba-tiba pusing. Pengaruh Si Kuyup tadi mungkin.
“Aaarghhh…” Aku memijit kepalaku. Bukannya sakitnya makin ilang, tapi malah bertambah hebat saja agakna. Aku mengerang lirih, takut membuat khawatir Mbok Inah. Aku diam. Mencoba mengambil napas dalam-dalam kemudian melepaskannya…kupejamkan mata. Membayangkan segala kesejukan dan keindahan yang tersisa di dalam otakku. Fuuuiiihhh sudah agak mendingan. Nyerinya perlahan berkurang. Aku berusaha untuk bangkit. Aku ingin membuka kedua jendela kamarku yang besar dan kuno itu. Aku ingin merasakan kedamaian tatkala bau tanah basah menerobos indera penciumanku.
“Kriieeeetttt…” suaranya berdecit.
“Hmmmmm,…baunya membuat perasaan tenang. Menentramkan. Aku kembali merebahkan badanku dan menggosok ujung keningku dengan minyak angin. Aku tertidur pulas beberapa saat, hingga sebuah suara membangunkanku.
“Tin..Tina…aku datang nih…” dan aku merasa tubuhku diguncang-guncang. Aku membuka mataku. Pandanganku masih kabur. Aku samar-samar melihat sosok Rei. Duduk di sebelahku dan membelai rambutku. Lembut dan penuh kasih.
Aku menggeliat. Mataku malas untuk terbuka lebih. Rasanya berat. Di antara ketidaksadaranku aku hanya bisa berkata…”Terima kasih kamu datang, Rei.” Dan aku pun kembali pulas.
Setengah jam kemudian…..
Terdengar lagu “Sunday Morning” nya Maroon 5. Aku reflek membuka mata dan mencari-cari ponsel yang entah-dimana itu.
“Hu-uuuuh…di mana sih ponselku??” aku bergumam atau lebih tepatnya memaki tak jelas. Aku berusaha menggapai-gapai sisi tempat tidurku, jemariku sibuk mencari-cari. Akhirnya karena sebal aku bangkit dari rebahku. Aku melihat ponselku menyala-nyala, tergeletak di atas meja belajarku. Aku pasrah. Sepertinya aku harus memaksa diri untuk beranjak dari kenyamananku. Dengan langkah gontai aku menuju ke arah meja belajarku. Tapi dasar,…membuat makin manyun wajahku, begitu ponsel berhasil kuraih, deringnya mati begitu saja. Aku melempar kembali ponselku begitu saja ke atas meja belajarku. Tanpa melihat siapa yang menelepon barusan. Terlanjur kesal. Tapi, tak berapa lama aku tersentak kaget.
“Rei,..?” Aku melihatnya sedang berdiri di pojokan kamar, dan dia hanya memberiku sebuah senyuman.
“Udah hilang pusingnya?” Tanyanya penuh peduli.
Aku mengangguk perlahan. “Iya. Lumayan.”
Sebenarnya, aku masih bingung akan kedatangan Rei yang tiba-tiba seperti ini. BUkan pertama kalinya dia mengejutkanku seperti tadi. Dia sering membuatku kaget.
Sepertinya dia begitu menikmati setiap raut muka kagetku.
“Apa yang membawamu kemari, Rei?” aku mengernyitkan dahi. Bingung. Dan ingin tahu.
“Kamu Tin. Aku lihat kamu sakit. Makanya aku ingin tahu keadaanmu saat ini. Kalo boleh jujur…aku sebenarnya cukup sering mengunjungimu. Kamu saja yang tidak tahu atau pura-pura tidak perduli. Tadi saja pasti kamu juga tak sadar jika aku telah datang mengunjungimu. Dan lagi-lagi dia mengakhiri kalimatnya dengan sebuah senyuman. Senyuman yang membuatku tenang dan rindu.
Aku terduduk di atas tempat tidurku. Memandang sosok Rei seakan tidak percaya kalau dia masih saja peduli. Dia begitu setia. Padahal lama sekali aku telah berusaha mengenyahkan dia, melenyapkannya dari pikiranku. Aku sudah hampir berhasil tapi tetap saja dia muncul semaunya. Sekenanya. Bahkan kebiasaannya ketika muncul di dalam kamarku adalah mencari-cari lagu kesukaannya dan memutarnya. Seperti yang dia lakukan seperti saat ini. Lagu favoritnya tidaklah pasti. Terkadang lagu yang dia nyanyikan atau yang dia ingin dengarkan adalah lagu-lagu yang menggambarkan keadaannya saat itu.
Atau bahkan bisa jadi lagu itu adalah gambaran perasaannya yang tidak bisa secara eksplisit tersampaikan.
“Don’t go changing any better. This, I promise from the start. I just need someone that I can talk to. I don’t need smart conversation…” (the way you are)
Dia mulai menyanyi diiringi dengan kaset CD di belakangnya. Kubiarkan dia. Aku hanya diam. Entah mungkin aku terlalu lelah. Sepuluh tahun aku mencoba untuk menganggap Rei tak ada, namun sepuluh tahun ini aku baru sadar bahwa dia memang nyata dan mungkin akan selalu bersamaku. Dalam setiap napasku di rumah ini. Aku tidak begitu ingat kapan Rei mulai menampakkan diri di hadapanku. Entahlah, aku sendiri adalah si Pelupa. Jadi, aku tidak lagi peduli dengan pertanyaan-pertanyaan ‘Kapan Rei muncul, kenapa dia muncul dan bagaimana dia muncul’. Namun, seingatku dia muncul tatkala aku terjatuh di depan pohon mahoni depan rumah waktu aku berumur lima tahun. Aku menangis kencang. Terlebih aku ingat betul lututku terluka dan berdarah. Aku masih terus saja menangis kalo Rei tidak menolongku, kalo Rei tidak memberikanku sebuah permen, kalo Rei tidak membersihkan lukaku dan mengobatinya. Tidak ada siapapun saat itu. Tidak ada Mbok Inah, tidak ada bapak, tidak ada ibu. Yang kutahu aku sendirian saat itu. Beruntung ada Rei. Dia menemaniku sampai aku berhenti menangis. Hal itu membekas dalam ingatanku karena betapa aneh ketika Mbok Inah datang tergopoh-gopoh dengan Ibu yang juga tidak kalah paniknya, Rei yang sedari tadi di sampingku tiba-tiba menghilang. Benar-benar hilang. Lenyap tak ada bekas. Hari itu adalah hari ulang tahunku yang kelima. Tanggal 30 April 1992 adalah menjadi awal mula kisahku dan Rei. Dan setelah kepergian kedua orangtuaku Rei makin dekat denganku.
# # #
I have a dream, a song to sing
To help me cope with anything
If you see the wonder of a fairy tale
You can take the future even if you fail
I believe in angels
Something good in everything I see
I believe in angels
When I know the time is right for me
I'll cross the stream - I have a dream
(ABBA-I Have A Dream)
“Tin..malam ini aku akan pergi”. Aku menatapnya. Mencari maksud dari kalimatnya barusan.
“Pergi..?” Tanyaku masih bingung. “Tapi pulang lagi kan?” Entah kenapa aku tiba-tiba jadi cemas. Apalagi tampak mimik mukanya yang jadi serius.
Dia menatapku tajam, dia sering melihatku seperti itu tapi rasanya tidak seperti saat ini. Aku yang selama sepuluh tahunan ini berusaha untuk mengenyahkannya, berusaha untuk tidak peduli pada keberadaannya, dan tidak mempercayainya tiba-tiba ada rasa kehilangan. Aku tidak mau dia pergi. Aku tidak mau kehilangan teman seperti dia. Yang selalu setia, yang perhatian, yang suka menggertak, yang terkadang bikin sebal, aku juga tidak ingin jogednya lenyap, tak mau nyanyian dengan suara cemprengnya tak lagi temani lelapku.
“Rei,…kamu benar-benar akan pergi?” Aku bertanya sekali lagi. Berharap matanya yang lekat itu tiba-tiba tertawa, berharap ada simpul-simpul senyum di ujung-ujung bibirnya, berharap dia hanya menggodaku seperti biasanya. Tapi yang kudapat hanya sebuah kediaman. Dia seperti tidak menapakkkan kakinya di sini. Di tempat berpetak 4x5, di tempat yang biasanya dia gunakan untuk menari, sebuah dunia yang sering dia gunakan untuk berdeklamasi.
“Rei…?” Akh…dia serius rupanya. Aku pegang kedua tangannya. Dingin. Matanya masih menatapku, aku ngeri, aku takut. “Kamu ngga akan kemari lagi ya?”
Tiba-tiba dia bangkit dari duduknya. Lelah mungkin dia menghadapi pertanyaan-pertanyaan monotonku. Atau mungkin dia sudah bosan padaku. Dan malas melihat mukaku.
Aku mengernyitkan dahi, heran. Kulihat dia mengambil CD, memasukkan CD ke dalam player dan terdengarlah suara Duncan Sheik. Akkhh…Lagu ini, lagu yang dulu sering aku dengarkan. Yang sering aku
nyanyikan tiap kali aku mandi bak konser. LAgu yang pernah aku nyanyikan untuk mempertanyakan segala misteri tentang Rei. LAgu ini. Wishfull Thinking
Listen to the waves. Everything communicates. Will it ever be. Anything more. Than wishful thinking?
Oh no there you go. Looked away and. Missed the show. How much wasted time. Will you survive?
Feel the blades of grass. How it brings you back. It will always be. Only as green. As you can see
Oh no there you go. Looked away and. Missed the show. How much wasted time. Will you survive?
Oh yeah fooled again. I don't know how .And I don't know when. Not much else to blame. But wishful thinking. Little breakdowns. In coastal towns. They come suddenly. Crashing over you. They come easily
I'm falling. Through the skies. And frozen places
Oh no there you go. Looked away and. Missed the show. How much wasted time. Will you survive
Oh yeah fooled again. I don't know how. And I don't know when. Not much else to blame. But wishful thinking
And I try to realize. That I needn't look. Any further. The whole of The universe. Is plain to see. And I try not to rely. On another world. Or the future
The whole of The universe. Is a mystery
And it gets me over
It gets me over you ohhh
And it gets me over
It gets me over you
Langit sudah berwarna keemasan. Sinar-sinarnya memasuki kamarku. Sinarnya membuatku silau, hingga REi hanya tampak seperti siluet yang sedang berdiri menatap senja melalui jendela kamar yang terbuka lebar.
“Masih ingat kamu Tin,…kita bertemu pertama kali di bawah pohon mahoni itu. Pohon itu berarti sudah cukup tua ya…tapi aneh, dia masih terlihat kuat. Kita juga kuat seperti itu tidak ya?” Kemudian dia berbalik. Punggungnya tak lagi terlihat. Dia datang mendekat. Dan meraih tanganku.
“ Pukul duabelas malam nanti, aku pergi Tin. Benar-benar akan pergi. Kamu dewasa kini. Tak ada lagi tempat untukku di pikiranmu, di hatimu, di nadi-nadimu. Semuanya telah tertutup rapat. Kamu sudah besar, Tin. Kamu tidak lagi butuh aku.”
“Rei…? kamu serius ya?” Aku masih saja berharap dia menggelengkan kepala. Membuat pasti pada si Tidak. Tapi yang kulihat adalah dia tersenyum dan menganggukkan kepala. Aku lemas. Sejujurnya aku takut kehilangan dia. Cuma dia yang tahu aku, hanya dia yang memahami aku. HAnya dia.
# # #
…..
Tiup lilinnya Rei, hari ini kita akan merayakan lima belas tahun kebersamaan kita. Hari ini kita akan berpesta. Sepuluh detik lagi Rei, sepuluh detik lagi. Kita rayakan pertemuan dan perpisahan kita. Di tempat ini, di bawah kerindangan SI Mahoni. Ada namamu dan namaku yang terukir di batang tubuhnya. Maaf Mahoni,..membuat kulitmu sakit. Aku ingin kamu menjadi saksi bahwa pernah ada Rei yang singgah dalam kehidupanku. Itu saja.
…..
tujuh…delapan…sembilan….sepuluh…….
Tiup lilinnya Rei, aku sudah bersusah membuat agar-agar coklat untukmu. Tak sempat aku membuatkan sebuah tart. Mendadak sekali kepergianmu. Nah, nikmatilah teh hitam yang berbaur dengan kapulaga dan jahe yang kubuat ini. Khusus untukmu. Spesial untuk hari ini. Lima belas tahun Rei. Lima belas tahun…kamu begitu setia menjagaku. Kamu kuat, kamu rapuh. Kamu nyata, kamu bias. Kamu melankolis, dan kamu satu-satunya yang memakiku ketika aku tak bisa tidur lebih dini. Kamu baik Rei, terlepas dari sikap kerasmu. Kamu lembut meski kamu meledak dalam diam. Kamu pandai membaca situasi. Kamu berharga Rei.
“Bagaimana Rei? Enak agar-agar buatanku? Bagaimana dengan minumannya? Suka?” Aku menatapmu. Dan kali ini aku tersenyum. Melihatmu tertawa.
“Ini Rei, ada kado untukmu”. Aku memberinya sebuah kalung perak. Aku kaitkan kalung itu di lehernya.
“Simpan ya…” Lalu dia mengusap wajahku. MAtanya sedikit berkaca. Aku hanya tersenyum. Seolah mati rasa, bingung harus bagaimana. Aku tidak ingin kehilangan dia. Tapi dia memang harus pergi. Cepat atau lambat.
Tiup lilinnya Rei, hari ini kita akan merayakan lima belas tahun kebersamaan kita. Hari ini kita akan berpesta. Tiup lilinnya Rei. Kamu pun menghilang. Keningku masih terasa hangat karena kecupanmu.
“Selamat Tinggal Rei,….terima kasih untuk semuanya.”
# # #
“Ya Ampuuunnn…pantas saja dari tadi Mbok ketuk pintunya. Tapi ngga ada jawaban.” Mbok Inah tiba-tiba datang membangunkanku. Menyadarkanku bahwa aku telah kembali ke duniaku.
“Tadi dapet telepon dari Mbak Sari? Kata Mbak Sari, Handphone Mbak Tina ngga diangkat-angkat. Makanya dia terus telepon ke rumah. Mbak Sari mau makan malam bareng kita Mbak.” Sari adalah sahabat deketku, teman baikku. Aku memberi Mbok Inah sebuah anggukan sebagai jawaban.
Aku meminta Mbok Inah untuk diam karena aku mendengar lagu Wishfull Thinking dari Duncan Sheik membahana di dalam kamarku. Radio. Iya aku yakin itu. Aku tidak ingat kalau aku memutarnya. Tapi radio? sejak kapan aku mengubah fungsi tape besarku jadi radio. Rei, kamu masih menjagaku ya?
Aku berjalan membuka jendela kamar lagi. Angin membandel hari ini. Aku melihat dengan jelas pohon mahoni itu tumbuh makin kuat. Makin besar. Hanya pohon ini yang gagah. Tidak ada yang menandingi. Bahkan pohon lain di kompleks ini. Hanya satu-satunya pohon mahoni yang kuat, yang gagah, yang ada sayatan namaku dan nama Rei di batang tubuhnya.
Rei…teman khayalku. Teman yang setia menjagaku. Rei yang bandel, Rei yang iseng, Rei yang serius.
Aku merindukanmu Rei.
Hari itu dimana kita berpesta berdua merayakan kebersamaan dan perpisahan. Setahun Yang lalu Rei. Setahun yang lalu.
Aku merasakan kehangatan sinar-sinar matahari yang menerobos, menembus sel-sel kulitku. Langit tidak lagi mendung. LAngit bersinar keemasan. Selamat sore Rei……
“Mbak Tin? Sedang ngelamun?” Mbok INah kembali menyadarkanku. “ INi, jatuh dari atas meja belajarnya mbak” Mbok Inah menyodorkan seuntai kalung perak padaku.
Ikatanku dan Rei. Tanda sayangku pada Rei.
“Terima kasih, Mbok” Aku menerimanya ke dalam genggamanku. Hangat.
30 April 2008
Komentar
Posting Komentar